Posted in

Yunara, Sahabatku yang Hilang

Yunara, Sahabatku yang Hilang
Yunara, Sahabatku yang Hilang

Namaku Risa. Aku punya seorang sahabat sejak SMP, namanya Yunara. Dia bukan orang istimewa menurut dunia, tapi buatku, dia istimewa dengan caranya sendiri. Ceria—kadang sampai kelewat batas. Care banget, sering bela temennya meski kadang yang dibelain nggak layak dibela.

Aku kenal Yunara pertama kali di tempat les Bahasa Inggris, deket rumah. Waktu itu dia satu geng sama dua cewek pendiam yang keliatannya pinter tapi nyebelin. Aku ngeliat sendiri gimana mereka suka nyuruh-nyuruh Yunara, kadang nyindir, kadang nahan dia ngelakuin hal-hal kecil yang dia suka. Yunara patuh, terlalu patuh menurutku. Kayak dijadikan pembantu bukan temen.

Mungkin karena aku kasian, atau mungkin karena aku ngerasa dia pantas dapet temen yang beneran, akhirnya aku tarik dia ke lingkaranku. Emang sih, kadang kelakuan Yunara memalukan, ketawanya pecah banget, bisa-bisa bikin orang liat. Tapi aku maklum, karena aku ngerti kenapa dia begitu. Dia bukan norak, dia cuma nggak punya banyak ruang buat jadi dirinya sendiri.

Tahun 2006, kami masuk SMA. Aku dan Yunara masih satu sekolah, meski beda kelas. Kadang kami naik angkot bareng. Aku cukup populer, bukan karena cari sensasi, tapi karena mungkin aku dikenal galak kalau ada yang berbuat nggak adil. Meski punya banyak temen, mataku tetap ngikutin Yunara. Dia tetap ceria, tetap rusuh, bahkan pernah jatuh karena ketawa ngakak bareng temen sampai tembok kelas sebelah retak. Serius, itu kejadian nyata!

Tapi semester kedua, ada yang berubah. Siang itu, saat istirahat, aku dipanggil sama beberapa teman. “Ris, si Yunara jerit-jerit di kelas,” kata mereka.

Aku santai, “Biasa kali, kalian kan sering godain dia.”

See also  Fatamorgana di Kampus Malam (Part 1)

“Nggak, ini beda. Kayak… kesurupan.”

Aku langsung lari ke kelasnya. Yunara ada di pojok kelas, matanya kosong, suara teriakannya menggema. Aku dekati dia, tetap dengan ekspresi tenang meski dalam hati kacau. “Nara, kamu neriakin siapa?” Dia memandangku datar, lalu berkata pelan, “Aku didatengin ayahku…”

Aku diam sejenak. “Nara, ingat, ayahmu sudah lama meninggal. Tarik napas, baca doa.”

Dia kembali menjerit, lalu hening.

Setahun berlalu. Yunara kembali jadi dirinya yang dulu. Ceria. Guru-guru suka karena kelucuannya. Tapi suatu hari, saat aku pulang sekolah naik angkot, aku lihat dia loncat dari motor pacarnya. Aku kaget bukan main. Aku turun, suruh angkot jalan. “Nggak apa-apa, Pak, Bu. Saya urus temen saya.”

Aku bantu dia berdiri, marahin pacarnya. Marahin dua-duanya malah. Habis perkara.

Masuk kelas 3, masalah makin parah. Teman-teman sekelasnya mulai bully dia. Sayangnya, aku kecolongan. Aku yang biasanya peka, kali ini lengah. Sampai Yunara kembali kesurupan. Kali ini aku nggak tahan. Aku panggil semua yang terlibat. “Siapa yang ngebully dia, keluar sekarang.” Lima orang keluar.

Aku berdiri di depan angkatan, “Mulai sekarang, lima orang ini nggak layak diajak bicara. Mereka sampah.”

Selesai? Belum.

Yunara ternyata juga punya masalah sama pacarnya. Beberapa hari nggak ngomong sama siapa-siapa. Akhirnya dia dibawa ke rumah sakit jiwa. Aku dan beberapa teman yang peduli terus jenguk dia. Nanya apa yang dia butuhin. Tapi waktu UAN tiba, dia belum sembuh. Dan dia tidak lulus.

Aku ngerasa gagal.

Tapi aku nggak berhenti. Aku bantu dia ikut Paket C. Dan dia lulus. Setelah itu, hidup membawaku ke Jakarta. Sibuk kuliah, sibuk kerja. Aku pikir tugas sahabatku selesai.

See also  Titisan Walid

Tahun 2021, kami ketemu lagi. Yunara sudah menikah, punya dua anak perempuan. Kami jalan bareng. Anak-anaknya ceria. Saat aku ajak beli mainan, dia bilang, “Jangan ambil banyak-banyak, kasihan Tante.” Anak-anaknya nurut. Aku bahagia. Yunara terlihat normal. Tapi ternyata itu… pertemuan terakhir kami bicara.


Photo by Priscilla Du Preez 🇨🇦 on Unsplash