Posted in

Satu yang Tertinggal

Satu yang Tertinggal
Satu yang Tertinggal

Kami bertujuh sudah seperti keluarga sejak kuliah dulu. Tahun 2005 kami dipertemukan di kampus kecil di kota ini, dan sejak itu persahabatan kami tumbuh seperti pohon tua: akarnya kuat, cabangnya lebar. Kami sudah melalui masa-masa begadang main Clash of Clans, Get Rich, Vainglory, joget-joget di AyoDance, sampai duet bareng di Smule. Kami pernah kemping di pantai sambil nunggu matahari terbit, touring motor antar kota sambil nyanyi-nyanyi di jalan, bahkan malam takbiran pun selalu seru-seruan bareng.

Sekarang, 20 tahun kemudian, kami semua sudah menikah. Sudah jadi orang tua. Ada yang sudah punya anak dua, ada yang tiga. Rumah kami kini di komplek berbeda-beda. Tapi satu tradisi kami tidak pernah berubah: setiap Lebaran dan sekali-dua kali setahun, kami selalu berkumpul lagi.

Tapi ada satu hal yang juga tidak pernah berubah: dia.

Namanya Anton. Usianya sekarang 36. Wajahnya masih ganteng, tubuhnya masih terawat karena dia rajin olahraga, pekerjaannya mapan, sifatnya lembut dan sabar. Kalau kamu melihat Anton untuk pertama kali, kamu akan heran kenapa dia belum menikah.

Kami tahu jawabannya.

Sekitar tahun 2011, Anton menjalin hubungan dengan seorang perempuan yang sangat ia cintai. Namanya Wimara. Kami semua kenal Wimara karena dulu dia sering ikut nongkrong. Manis, pintar, hangat. Mereka pacaran serius, dan jujur saja kami semua sempat yakin: “Wah, ini mah tinggal nunggu undangan aja.”

Tapi entah kenapa, di tahun 2014 hubungan mereka kandas. Anton gak pernah cerita detailnya. Kami cuma lihat dia diam, jadi lebih pendiam dari biasanya, kadang suka bengong sendirian sambil merokok di balkon kosan. Beberapa minggu setelah itu, kami dapat kabar: Wimara menikah dengan orang lain.

See also  Fatamorgana di Kampus Malam (Part 1)

Sejak hari itu, Anton berubah. Dia gak pernah lagi membuka hatinya.

Kami, tujuh sahabatnya, sudah mencoba segalanya. Orang tuanya juga sudah berusaha keras. Dikenalin sama dokter cantik—ditolak. Dijodohin sama perawat muda—ditolak. Bahkan ada yang kami usahakan lewat tetangga yang lembut hatinya, bahkan lewat temen kampus kami yang dulu ngefans sama dia. Jawaban Anton cuma satu:
“Gak dulu. Belum bisa.”

Kami kadang bercanda:
“Ton, nunggu apa sih? Nunggu Wimaranya cerai baru mau nikah? Wah lama banget dong.”
Dia cuma senyum kecil, lalu diam lagi.

Kami semua sudah menyerah. Bukan karena dia gak laku. Bukan karena dia kurang ganteng atau kurang mapan. Tapi karena hatinya memang belum pulih. Seolah satu-satunya yang pernah dia beri kunci, sudah pergi membawa kunci itu dan gak pernah mengembalikannya.

Kadang kami bertanya-tanya… apa sih yang bisa bikin orang kayak Anton berubah pikiran? Apa yang bisa bikin dia yakin buat membuka pintu hati lagi? Apa cukup waktu? Atau memang dia butuh seseorang yang sabar mengetuk pintu itu setiap hari sampai akhirnya terbuka?

Entahlah.

Yang kami tahu, setiap kali kami berkumpul lagi, Anton tetap datang. Masih ikut main PUBG sama kami, masih ikut malam takbiran seru-seruan, masih ikut kemping. Dan setiap kali itu juga, kami berharap… suatu hari nanti, ada seseorang yang bisa membuat Anton menemukan lagi kebahagiaan yang pernah hilang darinya.

Karena bagaimanapun juga… gak ada yang pantas hidup sendiri selamanya. Apalagi orang sebaik dia.


Photo by Kimson Doan on Unsplash