Namaku Wimara. Aku bertemu dengan Anton pada tahun 2009. Saat itu dia hanya seorang pegawai biasa, hidupnya tak punya tabungan, hutang di mana-mana. Banyak orang bilang: “Ngapain sama dia? Kamu bisa dapat yang lebih mapan.”
Tapi aku punya hati, bukan kalkulator. Aku temani Anton dari nol. Aku ikut dia berpindah kerja dari satu kantor ke kantor lain, gajinya naik-turun, sampai akhirnya dia dapat posisi General Manager di sebuah perusahaan besar.
Kupikir ini akhir dari perjuangan kami. Ternyata justru awal dari lukaku.
Ternyata di puncak karirnya, Anton selingkuh. Dengan seorang janda beranak dua. Dan mereka bahkan sampai punya anak lagi, tiga orang. Aku cuma bisa diam melihat semua. Dia belikan selingkuhannya mobil, rumah, bahkan membiayainya sekolah sampai jadi dosen.
Sementara aku? Aku dan anak-anakku masih makan dari kiriman orang tuaku, tinggal di rumah warisan mereka.
Aku nikmati saja lukaku. Kutelan pahit itu pelan-pelan. Tiap malam aku cuma bisa menangis dalam doa: “Ya Allah, biarlah tangan-Mu sendiri yang menegur mereka. Biarlah dunia dan akhirat yang membalas.”
Padahal dulu aku memilih Anton bukan tanpa pertimbangan. Waktu kuliah, dia sudah kerja. Hidupnya terencana. Dari awal aku bilang padanya: “Kalau kita nikah, aku mau ada rumah, ada mobil. Aku mau hidupku terjamin.”
Dia nurut. Aku suruh belajar nyetir, dia belajar. Mobil pertama kami datang saat aku hamil anak pertama.
Walau penghasilan selalu ngepas karena cicilan rumah, aku tetap jaga diriku. Dari ujung kaki sampai ujung rambut aku rawat. Aku gak mau memberi celah sedikit pun untuk dia berpaling.
Tapi laki-laki, rupanya, kalau punya uang sedikit lebih banyak, tingkahnya lebih banyak. Dan aku baru benar-benar membuktikannya di tahun 2023.
Tahun itu tahun tergelap dalam hidupku.
Awal tahun aku sakit cukup lama.
Pertengahan tahun aku hamil lagi, tapi akhirnya keguguran.
Dan di akhir tahun aku temukan dia hampir saja pesan “open BO”.
Katanya sih gak jadi. Katanya cuma “penasaran”.
Tapi buatku pengkhianatan itu sudah cukup untuk merobek-robek hatiku.
Kenapa dia sampai jadi seperti itu? Dia bilang karena pengaruh lingkungan organisasi yang dia ikuti, karena sering dinas ke luar kota, ke Bali.
Aku percaya? Tentu tidak.
Sejak itu, aku gak lagi marah-marah.
Gak lagi menuntut apa-apa.
Aku cuma diam. Dan berbisik dalam hati:
“Allah melihat. Biarkan tangan Allah yang menegur. Bukan tanganku.”
Anton sekarang menyesali semuanya. Dia minta maaf berkali-kali. Dia bilang dia bodoh.
Tapi lukaku tak kunjung sembuh.
Ada malam-malam di mana aku menangis diam-diam, berharap waktu bisa kembali ke saat aku bisa memilih jalan lain.
Ada siang-siang di mana aku memandang ke cermin, tersenyum kecil sambil berkata pada bayanganku sendiri:
“Kamu kuat. Kamu sudah sampai sejauh ini.”
Aku tak tahu kapan semuanya akan benar-benar selesai.
Yang aku tahu, untuk saat ini, aku hanya bisa menggenggam doaku erat-erat, dan menunggu Allah sendiri yang membalas semua.
Photo by Luemen Rutkowski on Unsplash