Hari pernikahanku tiba, dan seperti biasa, para tamu berdatangan membawa kado dalam berbagai ukuran dan bentuk. Ada yang membawa kotak besar dengan pita cantik, ada yang membawa amplop berisi uang, bahkan ada juga yang datang dengan membawa kue tart sebagai hadiah.
Di antara semua kado, satu kado dari tetangga sebelah rumah mamah cukup menarik perhatian. Sebuah tas kain berbahan licin, entah itu velvet atau satin—aku tidak begitu paham. Warnanya cerah dengan motif bunga-bunga, terlihat seperti tas mukena yang biasa dipakai ibu-ibu kalau pergi ke masjid.
Aku sempat berpikir, Oh, mungkin ini memang tas untuk mukena. Bagus juga, jadi aku punya yang baru. Namun, setelah kubuka, ternyata tas itu kosong. Tidak ada mukena di dalamnya. Aku hanya bisa tersenyum kikuk sambil bertanya-tanya, kenapa hanya tasnya saja? Ah, mungkin memang begitu.
Beberapa bulan berlalu. Hidup rumah tanggaku berjalan seperti biasa. Hingga suatu pagi saat hari raya Idul Fitri, aku ikut shalat Ied di lapangan masjid kompleks. Saat itulah mataku menangkap sosok ibu tetangga yang dulu memberi kado itu.
Beliau sedang berdiri di shaf depan, mengenakan mukena dengan motif dan kain yang persis sama dengan tas yang pernah dia berikan padaku. Aku sampai melongo. Jadi selama ini…?
Aku tersenyum geli sambil menahan tawa. Jadi sebenarnya kado itu adalah tasnya buat aku, mukenanya buat beliau.
Sampai sekarang, tiap kali melihat tas itu di lemari, aku selalu ingat kejadian itu sambil tertawa sendiri. Ya sudah lah, setidaknya aku dapat tasnya, kan?
Photo by Towfiqu barbhuiya on Unsplash