Posted in

Yang Tidak Pernah Disebut

Yang Tidak Pernah Disebut
Yang Tidak Pernah Disebut

Sore itu, aroma bunga segar bercampur dengan wangi masakan yang keluar dari dapur, memenuhi ruangan resto yang baru saja dibuka. Lampu-lampu gantung memantulkan cahaya hangat, membuat suasana semakin meriah.

Di tengah keramaian, Dira berdiri di samping pintu, menatap suaminya, Arga, yang sedang memberi kata sambutan.
Suara tepuk tangan sesekali terdengar, setiap kali Arga menyebut nama orang yang ia ucapkan terima kasihnya.

“Terima kasih kepada Budi, yang sudah mengurus interior…”
“Terima kasih kepada Rina, yang mengurus promosi…”
“Terima kasih kepada…”

Dira tersenyum.
Ia menunggu.
Menunggu namanya terdengar.
Menunggu kata “terima kasih” itu jatuh untuknya.

Tapi… hingga tepuk tangan terakhir, tak pernah terdengar.

Di balik semua acara yang berjalan lancar ini, ada pikirannya yang terus mencari solusi, ada tenaganya yang berlari ke sana kemari, ada lelah yang ia sembunyikan di balik senyum.
Dan semuanya seakan menguap tanpa jejak.

Acara selesai.
Dira menghampiri Arga, masih dengan senyum yang sama, walau di dalam dadanya ada rasa yang sulit dijelaskan.

“Kok tadi kamu nggak nyebut namaku waktu ngasih ucapan terima kasih?” tanyanya pelan.
Tidak ada nada marah, hanya ingin tahu.

“Lupa,” jawab Arga singkat.
Namun seolah belum cukup, ia malah memandang Dira dengan kesal.
“Kamu kok bawa-bawa perasaan sih?” suaranya meninggi.

Dira terdiam.
Kadang, yang membuat kita sedih bukan hanya karena dilupakan…
tapi karena dimarahi saat mengingatkan.

Ia menunduk, lalu tersenyum tipis—senyum yang tidak lagi hangat.
Senyum yang diam-diam menyimpan keputusan.

Dan kini, bertahun kemudian, Dira duduk di teras rumah kecilnya, menikmati sore yang tenang.
Tak ada lagi kata sambutan yang menunggu namanya disebut.
Tak ada lagi lupa yang harus ia maafkan.

See also  Bayang-Bayang di Subuh Hari

Baginya, itu hal baik.
Karena Arga… hanyalah bagian dari masa lalu.


Photo by Meral Avdanlı on Unsplash