Usia mama kini 56 tahun. Seorang perempuan sederhana yang bahagia dengan keluarganya—punya suami yang setia dan anak-anak yang jadi kebanggaannya. Tapi siapa sangka, jauh di luar lingkar kebahagiaan itu, masih ada seseorang yang terjebak di masa lalu. Lelaki bernama Adi. Mantan kekasih mama, yang sampai detik ini tak bisa benar-benar melepaskan.
Dulu, waktu muda, mama dan Adi menjalin hubungan jarak dekat. Mama tinggal di rumah kakaknya, yang kebetulan dekat dengan kampus tempat Adi kuliah teknik di Bandung. Zaman itu komunikasi belum semudah sekarang, hanya lewat surat atau pertemuan singkat.
Sampai suatu hari, Adi tiba-tiba hilang tanpa kabar. Entah pulang kampung, entah ada masalah keluarga, tak seorang pun tahu. Mama yang ditinggal tanpa kepastian akhirnya berusaha menerima kenyataan: hubungan itu berakhir.
Dan di situlah ayah datang.
Lelaki sederhana yang sejak lama menaruh hati pada mama. Tanpa banyak basa-basi, ia melamar dengan cara yang tulus—langsung meminta izin pada kakak mama. Walau semula mama tak memiliki cinta, perlahan hatinya luluh. Mereka pun menikah.
Namun tak lama setelah itu, Adi kembali.
Betapa terkejutnya ia mendapati kekasih yang dulu ditinggalkannya kini telah sah menjadi istri orang lain. Ada banyak pertanyaan yang tak terjawab, namun semua sudah terlanjur. Dan di situlah luka itu tumbuh: Adi merasa dikhianati.
Sejak hari itu, hidup Adi berubah.
Kuliah yang dulu ia banggakan ditinggalkan. Ia pulang ke kampung halaman, menanggung bara kecewa dan cinta yang tak terselesaikan. Tahun demi tahun berlalu, ia menikah dan berkeluarga, tapi hatinya tak pernah benar-benar pergi dari mama.
Belasan tahun kemudian, ketika aku masih SMK, sebuah kejadian aneh menimpa.
Sebuah surat datang—surat sungguhan, bukan pesan ponsel. Dan yang lebih mengejutkan: pengirimnya adalah Adi. Ia menulis tentang cintanya yang tak pernah padam untuk mama.
Aku masih tak percaya. Bagaimana mungkin, setelah sekian lama, setelah punya keluarga sendiri, ia masih terikat pada masa lalu?
Keterkejutan tak berhenti di situ. Suatu hari, Adi datang ke rumah. Bukan sendiri—ia membawa istrinya. Dengan alasan silaturahmi. Ayah menyambut ramah, seolah tak ada yang ganjil. Namun aku bisa membaca tatapan istrinya. Seakan ia tahu persis suaminya masih terjebak pada kenangan lama.
Tak lama setelah itu, kabar mengejutkan datang: Adi bercerai.
Pecah sudah rumah tangga yang dibangunnya, tak kuat menahan cinta yang terus diarahkan pada orang lain.
Dan setelah pisah itulah, gangguan demi gangguan muncul.
Adi menghubungi mama di WhatsApp, di Facebook, bahkan membuat akun-akun baru hanya untuk menembus blokir. Ia menulis status bahwa hidupnya hancur karena ditinggal menikah mama. Ia mengomentari postingan anak-anak mama, menyebut mereka seperti anaknya sendiri. Bahkan ia pernah berkata: “Kalau memang benar mencintaiku, jadilah janda. Karena aku sudah hancur karenamu.”
Mama menanggapi semuanya dengan tegar.
Ia tak pernah menoleh ke belakang, karena kebahagiaannya ada di rumah: bersama ayah dan anak-anaknya. Tapi kisah Adi jadi pelajaran besar.
Bahwa cinta yang tak selesai bisa berubah jadi belenggu.
Dan betapa pentingnya memastikan: pasangan yang kita pilih benar-benar sudah berdamai dengan masa lalunya.
Karena menikahi seseorang bukan sekadar menyatukan dua hati, melainkan juga melepaskan bayangan lama yang bisa menghantui selamanya.
Photo by Hermes Rivera on Unsplash