Tiga tahun lalu, rumah tangga Rani hampir karam. Pertengkaran yang tak kunjung usai membuatnya lelah. Hatinya penuh dengan luka, dan pikirannya dipenuhi kenangan pahit tentang suaminya, Bagas. Sampai suatu hari, ia dan Bagas memutuskan menemui seorang konselor pernikahan.
Di ruangan yang tenang itu, konselor berkata dengan suara lembut namun tajam menusuk hati:
“Barangkali sebenarnya suamimu sudah berubah… tapi kamu masih sering mengulang di pikiranmu sendiri bahwa dia adalah orang yang paling menyakitimu. Yang terekam hanyalah kesalahannya, sehingga kamu tidak bisa melihat perubahannya.”
Kalimat itu membuat Rani terdiam lama. Ada sesuatu yang bergetar dalam dirinya. Ia sadar, betapa sering ia mengulang-ulang memori kelam, seolah itu film yang diputar kembali tanpa henti. Luka lama yang ia genggam terlalu erat, sampai-sampai ia tak pernah benar-benar melihat usaha Bagas memperbaiki diri.
Sejak hari itu, Rani mencoba belajar. Ia memahami bahwa pernikahan tak akan pernah bisa tumbuh jika salah satu masih terikat pada “versi lama” pasangannya. Setiap orang bisa berubah, tapi dibutuhkan hati yang cukup lapang untuk benar-benar melihat perubahan itu.
Dan kini, bertahun-tahun setelah nasihat itu ia pegang, Rani bersyukur tidak menyerah waktu itu. Kalau saja ia memilih tetap hidup dalam luka, ia tidak akan pernah mengenal Bagas yang sekarang: lebih dewasa, lebih penyayang, lebih berusaha untuk mereka berdua.
Pernikahan, ia sadari, bukan sekadar perjalanan bersama. Tapi tentang dua orang yang terus belajar, berulang kali jatuh lalu bangkit. Namun yang paling dulu harus dibenahi bukan pasangan, melainkan cara pandang diri sendiri.
Jadi, ketika sesekali keraguan kembali muncul, Rani bertanya pada dirinya:
Benarkah Bagas yang tidak berubah?
Ataukah ia yang masih terjebak pada versi lama dari suaminya?
Photo by Cate Bligh on Unsplash