Hari itu pertama kalinya aku diajar masak sama emak. Katanya, kalau mau jadi anak yang bisa mandiri, harus bisa masak walau cuma menu sederhana. Emak pun memilihkan menu: Sop Kacang Hijau. Aku sempat bengong, karena kupikir kacang hijau itu biasanya buat bubur, kok malah jadi sop? Tapi aku manut saja.
Emak bilang, “Rebus kacang hijaunya segenggam aja, nanti kan ditambahin wortel, kentang, bakso, sama yang lain-lain.”
Aku melirik bapak yang ikut nimbrung di dapur. Kami berdua saling pandang, lalu kompak berpikir: Segenggam doang? Itu mau kasih makan siapa? Buat kami, segenggam kacang hijau itu cuma cukup buat nyangkut di gusi, bukan buat sepanci sop.
Akhirnya dengan penuh keyakinan, aku dan bapak sepakat menambahkan takaran sendiri. Daripada nanggung, langsung saja kami tuang 1 kilogram kacang hijau ke dalam panci.
Awalnya kami merasa bangga. Lihat tuh, panci penuh, warnanya hijau, kelihatan mantap! Tapi begitu dimakan, kenyataannya lain. Rasanya enak sih… cuma porsinya nggak kira-kira. Sepanci besar penuh dengan kacang hijau yang nggak habis-habis.
Sejak hari itu, setiap kali jam makan tiba, yang tersaji di meja selalu sama: sop kacang hijau. Dipanasin pagi, dimakan siang. Dipanasin sore, dimakan malam. Begitu terus, sampai seminggu lamanya.
Di akhir minggu, aku cuma bisa ketawa getir. “Jadi, beginilah nasib orang yang sok-sokan ngatur resep sendiri.” Emak cuma geleng-geleng sambil senyum tipis, sedangkan bapak ikut nyengir. Kami berdua akhirnya sadar, kadang segenggam itu lebih dari cukup.
Photo by David Gabrielyan on Unsplash