Sejak aku berumur lima tahun, kabar Papa seolah lenyap ditelan bumi.
Setelah Mama dan Papa berpisah, Mama memilih merantau ke Eropa, dan sejak itu aku benar-benar tidak tahu Papa ada di mana, hidup atau tidak, sehat atau sakit.
Hingga suatu sore, saat aku duduk di teras sambil main ponsel, notifikasi BBM berbunyi.
Waktu itu, BBM masih jadi aplikasi hits.
Sebuah pesan masuk.
“Nak, ini Papa. Papa minta maaf ya…”
Jantungku berdegup.
Aku menatap layar ponsel lama sekali sebelum mengetik balasan.
Papa…? Setelah sekian lama?
Dia cerita panjang. Tentang pekerjaannya sekarang, tentang di mana dia tinggal, bahkan tentang adik sambung yang baru kuketahui hari itu. Dia juga bilang nenek dari pihaknya sudah meninggal beberapa bulan lalu.
Aneh, aku tidak merasa marah. Tidak juga benci.
Yang ada hanya rasa penasaran — seperti apa rasanya punya ayah?
Sejak itu kami mulai sering BBM-an.
Lalu, untuk pertama kalinya sepanjang hidupku, Papa transfer uang.
Lima ratus ribu. Katanya uang THR.
Aku yang masih SMA waktu itu senang bukan main. Besoknya lebaran, dan aku sudah punya rencana: aku akan rebonding rambut. Rambutku akan lurus seperti yang sering aku lihat di majalah remaja.
Kebetulan Mama sedang pulang ke Indonesia. Dua minggu kami tinggal serumah — aku, Mama, suaminya, nenek, dan tanteku.
Malam itu aku pergi ke salon. Jam tujuh aku berangkat, dan karena salonnya ramai, aku baru pulang jam sepuluh malam.
Belum sempat masuk garasi sepenuhnya, “BRAK!”
Pintu garasi dibuka dari dalam.
Mama berdiri di ambang pintu.
Wajahnya dingin.
“Ngapain kamu baru pulang jam segini? Rambutmu diapain?”
Aku gugup.
“Ke salon, Ma… Tadi rebonding, tapi salonnya rame jadi lama…”
“Dapat duit dari mana?”
“Papa transfer, Ma…”
Dan saat itu, lirikan itu datang.
Tatapan mata yang tak pernah bisa kulupa.
Mata Mama menyipit, tajam, menusuk.
“Oooh… jadi selama ini papamu kirim uang? Udah ya berarti? Tanggung jawabku selesai? Udah kukasih makan, sampe sekolah SMA. Udah selesai ya urusanku sama kamu?”
Hatiku seperti ditusuk.
“Papa cuma kirim 500 ribu, Ma… Buat rebonding 300, sisanya masih ada. Baru kali ini Papa kirim…”
Suaraku hampir tak terdengar.
Mama tidak menjawab.
Dia berbalik dan masuk ke kamar, menutup pintu.
Aku masih duduk di motor di dalam garasi.
Lampu garasi sudah mati.
Gelap.
Air mata jatuh satu-satu.
Lalu deras.
Sepuluh menit aku duduk di situ, menangis tanpa suara.
Baru setelah itu aku masuk ke kamar, menutup pintu, dan melanjutkan tangisku.
Malam itu aku menatap rambutku di cermin — lurus, jatuh indah ke pundak.
Dan aku benci sekali.
Bukan karena hasilnya jelek, tapi karena rambut ini jadi alasan Mama marah lagi.
Photo by Rafael Garcin on Unsplash