Posted in

Bangku Kosong di Barisan Tengah (Part 2)

Bangku Kosong di Barisan Tengah
Bangku Kosong di Barisan Tengah

Sejak hari itu, Anton bukan lagi Anton yang dulu.

Anak yang dulu suka ketawa, suka bercanda, mendadak jadi pendiam.
Cewek yang nembak? Diterima. Tapi paling lama tiga minggu, langsung diputusin tanpa sebab.
Kabar cepat menyebar: Anton jadi player.

Semua orang mulai menilai dia negatif. Tapi dia tidak peduli.
Nilai-nilainya menurun drastis. Jarang belajar. Kadang bahkan tidak masuk sekolah.

Suatu sore, Wimara sempat bertanya.
“Ton, lo kenapa sih sekarang? Beda banget sama dulu.”

Anton tersenyum miring.
“Gue ga bisa ubah tampilan fisik gue, Wim. Tapi gue bisa ubah cara pandang orang tentang gue. Mau mereka anggap gue brengsek, gue ga peduli. Biar mereka jijik, biar mereka berhenti kagum.”
Ia menatap jauh ke lapangan sekolah.
“Siapa suruh mereka suka sama gue?”

Wimara hanya terdiam. Ada bagian dari dirinya yang sedih melihat Anton berubah sejauh itu.
Tapi ia juga mengerti: ini cara Anton melawan.

Yang paling membuat Wimara kagum, meski reputasinya hancur, Anton tetap menjaga batas.
“Gue bisa tidur sama mereka 24/7 kalau gue mau,” katanya suatu hari dengan nada datar.
“Tapi masa depan mereka? Gue bajingan, tapi gue bukan binatang. Gue pacaran sama mereka cuma buat memuaskan rasa penasaran mereka. Biar mereka ngerasain rasanya jadi pacar gue. Lalu gue putusin cepat-cepat supaya mereka bisa sakit hati dan move on. Dapet cowok yang lebih baik dari gue.”

Dan benar saja—satu per satu cewek-cewek itu berhenti ngejar.
Nama Anton perlahan tenggelam. Dari pusat perhatian, jadi sekadar rumor masa lalu.

Sampai akhirnya, Anton benar-benar pindah sekolah.
Tanpa pamit, tanpa kata perpisahan.

Yang tersisa bagi Wimara hanyalah kenangan: tentang seorang cowok yang pernah duduk di sebelahnya, pernah membuatnya ketawa setiap hari, dan akhirnya mengorbankan reputasinya demi melindungi dirinya sendiri.

See also  The Empty Desk in the Middle Row (Part 1)

Photo by Feliphe Schiarolli on Unsplash