Posted in

Di Rel yang Sunyi

Di Rel yang Sunyi
Di Rel yang Sunyi

Anton dulu dikenal sebagai sosok yang selalu siap membantu siapa pun. Bisnisnya maju, keluarganya harmonis, hidupnya serba cukup.
Namun, dalam satu tahun, segalanya hancur. Bisnis yang ia bangun dengan keringat sendiri ambruk, rumah tangganya retak, dan tumpukan hutang seperti menjerat lehernya.

Anton mulai menutup diri. Ia menolak bertemu teman, menolak panggilan telepon. Baginya, ia tidak pantas menjadi orang yang ditolong—karena seumur hidupnya ia selalu menjadi penolong.
Malam-malamnya dihabiskan dengan tatapan kosong, mempertanyakan arti hidup.

Suatu malam, entah mengapa ia memutuskan keluar rumah. Ia memesan ojek online.
Sopirnya, pria paruh baya dengan suara ramah, mengajak ngobrol sejak awal.
Tentang politik, harga sembako, sampai berita selebriti.

Di kepala Anton, semua itu terdengar seperti dengung lebah. Ia hanya ingin sampai tujuan.
Tapi tiba-tiba, saat motor mereka melintasi rel kereta yang sepi, sopir itu berkata pelan,
“Pak… kemarin ada orang bnh diri di sini. Saya jadi kepikiran, kenapa ya orang bisa sampai sejauh itu?”

Anton tercekat. Dadanya seperti diremas.
Air mata yang ia tahan berhari-hari akhirnya tumpah begitu saja.
Sopir itu melirik dari spion, lalu tanpa banyak tanya ia menepi di sebuah warung kopi kecil.

“Duduk dulu, Pak. Ngopi sebentar,” katanya.

Malam itu Anton berbicara—bukan pada seorang psikolog, bukan pada sahabat lama—tetapi pada seorang sopir ojek yang bahkan ia tak tahu namanya.
Sopir itu hanya mendengarkan, sesekali mengangguk, tanpa menghakimi.
Anton menangis sampai suaranya habis.

Sejak malam itu, hidup Anton memang tidak serta-merta membaik. Hutangnya tetap ada, masalahnya tetap menumpuk.
Tapi ada sesuatu yang berubah—ia tahu bahwa ia tidak sendirian.

Beberapa hari kemudian, sebuah pesan masuk di ponselnya.
“Semangat ya, Pak.”

See also  Semangkuk Mie Ayam dan Sebuah Keputusan

Pesan itu singkat. Tapi bagi Anton, rasanya seperti ada yang mengulurkan tangan dari kegelapan.
Bahwa ada seseorang, entah siapa, yang percaya bahwa ia masih bisa bertahan.

Anton tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa hidup ini mungkin masih pantas dijalani.


Photo by Andrew Karn on Unsplash