Namanya Raka, anak laki-laki bungsu dari keluarga Suryana. Umurnya baru dua puluh lima, masih kerja kontrak di perusahaan logistik—statusnya pun belum karyawan tetap. Tapi akhir-akhir ini wajahnya sering kelihatan sumringah. Rupanya, kabar baik—menurut dia—akan segera datang.
“Mas, aku mau nikah,” katanya suatu malam saat kumpul keluarga.
Anton, kakak iparnya, hampir keselek minum teh.
“Serius? Kamu baru dua tahun kerja, Rak. Statusmu juga masih kontrak. Ngapain buru-buru?”
Raka hanya nyengir. “Soalnya Lila udah ngebet banget, Mas. Katanya dia udah umur dua puluh tujuh, takut keburu tua.”
Anton menghela napas. “Umur dua puluh tujuh itu belum tua, Rak. Nikah itu bukan lomba cepat-cepatan.”
Tapi Raka tetap ngotot.
“Kalau rezeki mah ada aja, Mas. Kan bisa dibantu Bapak sama Ibu dulu.”
Anton menatapnya tajam. “Terus kalo udah nikah, siapa yang bayar kontrakan, biaya hidup, dan nanti kalau punya anak?”
Raka menjawab santai, seolah semua sudah ada jalan keluarnya.
“Yakin, Mas. Tuhan pasti kasih rezeki.”
Anton hanya bisa geleng kepala. Dalam hati, ia tahu arah kisah ini. Ia sudah sering lihat: cinta yang terlalu yakin, tapi tanpa perhitungan.
Dua bulan kemudian, pesta sederhana diadakan di rumah mertua. Raka resmi menikahi Lila, pacarnya yang katanya “takut keburu tua”. Semua biaya memang dari orang tua—dari sewa gedung sampai cincin kawin.
Awalnya berjalan manis, tapi seminggu setelah menikah, kabar tak enak datang: Lila dinyatakan hamil.
Masalahnya, Lila juga pekerja kontrak di proyek yang punya aturan jelas: jika hamil, kontrak tak diperpanjang.
Artinya dua bulan lagi, ia berhenti bekerja.
Raka panik. Gajinya tak seberapa, apalagi sekarang harus menanggung dua orang—tiga malah, kalau dihitung janin di perut Lila.
Mereka mulai sering bertengkar. Uang bulanan habis di pertengahan bulan. Sewa kontrakan menunggak. Lila pun mulai ngeluh, “Kenapa keluarga kamu gak bantu, Rak? Padahal kita lagi susah.”
Anton, yang mendengar keluhan itu, cuma bisa menahan diri. Ia pernah memperingatkan. Tapi setiap kali menasehati, Lila selalu merasa disindir.
“Bilang aja, Kak Anton gak mau bantu!” katanya suatu kali dengan nada tinggi.
Anton menarik napas dalam. “Aku bukan gak mau bantu, Lil. Tapi dari dulu aku udah bilang, nikah itu bukan cuma soal cinta. Kalian yang maksa, ya harus siap sama konsekuensinya.”
Lila manyun, tapi tak menjawab. Yang lebih bikin Anton geleng kepala, mereka masih ngotot mau cek kandungan ke rumah sakit swasta, bukan puskesmas. Padahal tabungan sudah hampir habis.
“Pakai BPJS aja, Lil. Itu gratis,” saran Anton.
“Gak mau, Kak. Di puskesmas rame dan alatnya jadul,” jawabnya ketus.
Anton hanya bisa tersenyum miris. Kadang, manusia memang lebih takut terlihat “tidak keren” ketimbang hidup susah.
Beberapa minggu berlalu, kabar baru datang—kali ini lebih gila: Raka meminta bagian warisan dari orang tuanya yang masih hidup.
“Buat modal, Mas,” katanya enteng.
Anton sampai terdiam lama.
“Rak, warisan itu bukan buat yang masih hidup orang tuanya. Itu buat nanti, setelah mereka tiada.”
Tapi Raka malah marah. “Mas enak ngomong! Mas udah mapan. Kami juga pengen punya hidup yang layak!”
Anton tak membalas. Ia tahu, tak ada gunanya lagi menasehati orang yang menolak logika. Kadang hidup sendiri yang harus jadi guru terbaik.
Waktu berlalu. Anton sering lihat Lila dan Raka duduk di teras kontrakan, murung, memandangi kalender jatuh tempo sewa. Sementara bayi mereka sudah lahir, lucu dan mungil.
Anton kadang iba. Tapi dalam hatinya ia tahu:
Cinta memang indah, tapi tanpa logika, ia bisa berubah jadi jebakan.
Dan Raka, adik iparnya, baru saja masuk ke dalamnya—dengan keyakinan polos yang dulu ia banggakan:
“Ada rezeki nanti, Mas.”
Ya, rezeki memang ada. Tapi bukan untuk mereka yang hanya berharap tanpa berusaha menghitung.
Photo by Photos by Lanty on Unsplash