Sejak duduk di bangku SMA, Bunga sudah jatuh hati pada seorang kakak kelas. Lelaki itu sederhana, wajahnya manis, sikapnya cuek—justru hal itu yang membuat Bunga tak pernah bisa berhenti memperhatikannya. Tiga tahun penuh, perasaan itu ia simpan dalam diam. Untuk sekadar menyapa pun rasanya terlalu sulit, apalagi lelaki itu sudah memiliki kekasih. Bunga hanya bisa menatap punggungnya dari jauh, sembari menahan getar yang tak pernah sempat ia ungkapkan.
Hingga kelulusan tiba. Lelaki itu pergi tanpa pernah tahu ada seorang gadis yang diam-diam menunggunya dalam sepi. Bunga pun melanjutkan hidup, bekerja, mencoba menutup rapat-rapat perasaan yang tak pernah sempat ia sampaikan. Namun, hatinya tak pernah benar-benar bisa melupakan cinta pertamanya. Waktu berjalan, luka itu membeku, tapi tak pernah benar-benar hilang.
Suatu hari, sebuah pesan singkat muncul di Instagram. Dari seorang laki-laki asing, yang tiba-tiba begitu berani mengetuk ruang pribadinya. Pesan itu berlanjut ke WhatsApp, meski Bunga awalnya hanya membalas seadanya—tanpa rasa. Namun laki-laki itu terus mencoba. Katanya, ia sudah sering melihat Bunga sejak lama. Anehnya, Bunga sama sekali tidak pernah mengenalnya.
Hari-hari berubah menjadi bulan, bulan menjadi tahun. Dua tahun lamanya, laki-laki itu tak pernah berhenti mendekati Bunga. Meski sering diabaikan, meski berkali-kali dianggap tak penting, laki-laki itu selalu menunjukkan usahanya. Pelan-pelan, tembok hati Bunga yang keras itu mulai retak. Bunga perlahan luluh.
Hingga suatu hari, Bunga diajak berkunjung ke rumah kekasihnya. Awalnya terasa biasa saja. Namun, sebuah kejutan menanti di balik pintu rumah itu. Di ruang tamu, berdiri sosok yang begitu familiar. Lelaki yang dulu membuat Bunga gugup tiap kali berpapasan di lorong sekolah. Lelaki yang tiga tahun penuh ia kagumi dalam diam. Lelaki yang menjadi alasan ia pernah begitu percaya pada cinta pertamanya.
Bunga tertegun. Ternyata, lelaki itu adalah adik dari kekasihnya yang sekarang. Hatinya mendadak hening. Semua rasa yang dulu pernah tumbuh menjelma menjadi ironi. Ia tersenyum tipis, meski dadanya terasa sesak. Seakan semesta sedang bercanda dengan jalan hidupnya. Malam itu, Bunga pulang dengan langkah gontai. Ia sadar, ada cinta yang selamanya akan ia simpan. Bukan karena tak pernah sempat terucap, melainkan karena semesta sudah memilih jalannya sendiri.
Bunga menangis. “Andai dulu aku berani… mungkin kisah ini takkan serumit sekarang. Andai aku sempat mengungkapkan, mungkin aku takkan duduk di sini, menatapmu hanya sebagai adik dari lelaki yang kini kucintai. Tapi beginilah takdir… ia selalu punya cara untuk membuat hati terdiam di persimpangan.”
Dan di titik ini, Bunga menerima, bahwa takdir paling pahit sekaligus paling indah adalah melihat cinta pertamanya hadir di pelaminan—bukan sebagai pengantin, tapi sebagai adik ipar.
Mungkin beginilah takdir. Ia tidak selalu membawa kita pada yang kita inginkan, tapi pada yang seharusnya kita jaga. Maka biarlah, perasaan ini tetap menjadi rahasia kecil yang akan Bunga peluk sendiri. Sebuah cinta yang lahir di masa lalu, dan akan ia pendam selamanya di dalam hati. Cinta pertama yang berakhir sebagai keluarga.
Photo by Vitaly Gariev on Unsplash