Posted in

Amplop untuk Pernikahan Adik Tiri

Amplop untuk Pernikahan Adik Tiri
Amplop untuk Pernikahan Adik Tiri

Raisa duduk termenung di kamar kosnya. Di layar ponselnya, ada pesan terakhir dari ayahnya yang membuat hatinya campur aduk.

Sebulan lalu, ayahnya tiba-tiba menelpon. Suaranya berat, namun terdengar agak ragu.

“Rai, boleh pinjam uang sebentar nggak? Mau dipakai buat buka terop nikahan adikmu nanti.”

Raisa terdiam. Adik yang dimaksud adalah Naya — adik tirinya, anak dari ayahnya dengan perempuan lain. Luka lama itu masih ada, tapi Raisa mencoba menahannya.

“Yah, kalau memang nggak ada uang, kenapa harus pakai terop segala? Kan bisa nikah sederhana di KUA. Biayanya juga nggak sampai dua juta.”

“Tamu dari pihak cowok banyak, Nak. Kasihan kalau nggak ada terop, mereka mau duduk di mana? Lagipula… Naya itu anak cewek satu-satunya.”

Kata-kata itu membuat dada Raisa terasa sesak. Ia ingin menjawab: “Terus aku ini siapa, Yah? Aku bukan anak cewekmu juga?”
Tapi ia hanya membiarkannya mengendap dalam hati.

“Aku belum bisa minjemin uang, Yah. Tapi nanti aku kasih amplop aja, insyaAllah.”

Ayahnya akhirnya menerima, meski dengan nada kecewa yang tak bisa benar-benar disembunyikan.

Sekarang, Raisa kembali dibuat bimbang. Awalnya ia berniat memberi dua juta sebagai bentuk penghormatan, meski hubungannya dengan ayah tak pernah benar-benar baik. Namun semakin dipikirkan, hatinya mengerut. Ada rasa getir. Kenapa aku harus mengorbankan banyak, sementara keberadaanku saja kadang seperti tak dianggap?

Ia pun menimbang: apakah cukup memberi lima ratus ribu saja? Itu tetap uang, tetap doa, dan tetap niat baik. Tapi di sisi lain, ada rasa takut dianggap pelit atau tidak peduli.

Di balik semua kebimbangannya, Raisa sadar: yang terpenting bukanlah seberapa besar nominal yang ia beri, melainkan keikhlasan yang menyertai. Sebab uang bisa habis, tapi niat baik dan doa tulus akan selalu sampai.

See also  Badai yang Tak Diam: Bangkitnya Perempuan Pendiam

Image by Manfred Antranias Zimmer from Pixabay