Posted in

Anak Kapolwil yang Ditilang

Anak Kapolwil yang Ditilang
Anak Kapolwil yang Ditilang

Anton masih ingat jelas kejadian itu. Waktu itu ia baru masuk semester empat, sibuk dengan tugas kuliah dan kegiatan organisasi. Sementara adiknya, Dika, sudah SMA kelas dua. Dika sering main dengan teman-temannya yang kebetulan anak pejabat di kota itu. Salah satunya, Raka, putra Kapolwil yang terkenal tegas.

Suatu sore, Anton mendengar cerita yang bikin dia kaget sekaligus salut.

Hari itu, Raka sedang membonceng temannya pulang sekolah. Jalanan cukup ramai, dan mungkin karena terburu-buru, ia lupa pakai helm. Sialnya, di perempatan jalan ada razia. Seorang polantas memberhentikan mereka.

“SIM sama STNK, Dek,” kata polantas itu tegas.

Raka menyerahkan SIM C-nya. Wajahnya agak pucat, bukan karena takut ditilang, tapi karena tahu ini bisa sampai ke telinga bapaknya.

“Masalahnya kamu nggak pakai helm. Ini bisa ditilang,” ujar si polantas.

Raka menarik napas panjang. “Pak, saya boleh telpon orang tua dulu?”

Polantas itu menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Silakan. Tapi tilangnya tetap jalan.”

Raka mengeluarkan ponsel, menekan nomor ayahnya. Setelah beberapa kali nada sambung, akhirnya diangkat.

“Ada apa?” suara di ujung telepon berat dan berwibawa.

“Pak, saya ditilang. Saya nggak pakai helm,” kata Raka pelan.

Polantas yang berdiri di sampingnya mendengar suara itu dan langsung terdiam. Begitu sadar siapa yang ada di ujung telepon, wajahnya berubah kaku.

Namun Raka mendengar jawaban yang bikin ia semakin gugup:

“Ya sudah, terima saja tilangnya,” kata ayahnya datar.

Raka sempat bengong. “Lho, Pak—”

“Raka! Kamu salah. Kamu bikin malu. Anak polisi kok melanggar aturan,” suaranya meninggi. “Nanti malam kita bicara di rumah!”

Telepon ditutup. Raka menunduk. Polantas itu bahkan terlihat lebih kaget daripada dirinya, karena ia tidak menyangka atasan yang disegani itu akan berkata begitu.

See also  Bakul Buah dan Luka yang Tak Pernah Lenyap

Akhirnya surat tilang diberikan, dan Raka pulang dengan wajah merah.

Malamnya, justru ia yang kena marah besar di rumah. “Kamu pikir bapak bisa seenaknya menghapus kesalahanmu? Justru kamu harus jadi contoh!”

Anton yang mendengar cerita itu beberapa hari kemudian cuma bisa menghela napas.
“Sayang ya,” gumamnya dalam hati. “Pejabat kayak gini sekarang makin langka.”

Ia jadi berpikir, mungkin kota ini akan lebih baik kalau lebih banyak orang seperti ayah Raka—tegas, adil, dan tidak pandang bulu.


Photo by Michael Förtsch on Unsplash