Posted in

Antara Luka dan Pilihan

Antara Luka dan Pilihan
Antara Luka dan Pilihan

Namaku Rania, seorang istri berusia 37 tahun, dengan tiga orang anak yang menjadi pusat hidupku. Suamiku, Arman, berusia 41 tahun, bekerja sebagai karyawan swasta dan punya usaha sampingan yang cukup stabil. Selama ini aku merasa rumah tangga kami baik-baik saja, meski ada pasang surut seperti rumah tangga pada umumnya.

Namun, tiga bulan terakhir hidupku berubah. Aku baru mengetahui bahwa Arman menjalin kedekatan dengan seorang perempuan bernama Maya—seorang janda yang ternyata adalah mantan pacarnya di masa lalu. Mereka tidak hanya sekadar saling sapa, melainkan sudah berbicara tentang pernikahan.

Yang membuatku semakin tergores, Maya menerima rencana itu. Dia bersedia menjadi istri kedua.

Arman berkata padanya bahwa seluruh gaji bulanannya tetap akan untukku dan anak-anak, sedangkan Maya hanya akan diberi nafkah dari usaha sampingannya. Maya pun tidak mempermasalahkan, karena dia sendiri sudah mapan, punya pekerjaan, dan mandiri secara finansial.

Meski begitu, bagiku semua alasan itu sama sekali tidak membuat luka ini lebih ringan.


Pertanyaan yang Menggantung

Suatu malam, aku memberanikan diri bertanya pada Arman:

“Mengapa harus menikah lagi? Aku masih ada di sini, ada anak-anak, aku pun masih mampu melayani. Apa kurangnya aku sebagai istri?”

Arman menunduk lama, lalu berkata lirih:

“Ini bukan soal kurangmu, Ran… ini soal perasaan. Ada beberapa kali aku kecewa denganmu, terutama soal keuangan. Dari situlah cintaku perlahan berkurang. Tapi aku tetap peduli padamu dan anak-anak. Nafkah lahir batin tetap aku jalankan. Hanya saja… cintaku kini lebih besar ke Maya.”

Kata-kata itu seperti belati yang menusuk dada. Rasanya ingin berteriak, tapi yang keluar hanya tangis tertahan.


Dilema

Aku tidak ingin bercerai. Bagaimana dengan mental anak-anak jika kami berpisah? Mereka sangat dekat dengan ayahnya. Arman pun berkata ia tidak mau berpisah dengan kami. Namun, aku juga tidak sanggup dimadu.

See also  Invisible Scars, Yet I Keep Walking

Posisi ini membuatku seolah terjepit. Arman seakan ingin aku menerima poligami, atau kalau tidak, ia akan mengambil jalan lain.

Apalagi Maya memberi syarat: suatu saat nanti, Arman harus ikut tinggal bersamanya di Depok. Sedangkan kami tinggal di Bekasi, tempat semua aktivitas kami—sekolah anak-anak, pekerjaanku, dan usaha Arman.

Aku bisa merasakan kebimbangan Arman. Dia takut kehilangan anak-anak, tapi juga tidak mau menjauh dari Maya.


Luka yang Mengendap

Kini, hari-hariku penuh dengan rasa was-was. Meski Arman masih pulang ke rumah, aku tahu bahwa di sela-sela waktunya ia terus berkomunikasi dengan Maya. Chat, telepon, bahkan rencana yang tak pernah ia bagi denganku.

Aku merasa seperti rumah tangga ini hanya tinggal diikat oleh anak-anak. Aku menahan sakit hati setiap hari, seolah menunggu keputusan yang bisa mengubah seluruh hidup kami.

Satu hal yang kutahu, aku tidak bisa lagi menjadi perempuan yang sama seperti dulu. Luka ini terlalu dalam. Dan setiap kali aku melihat wajah anak-anakku, aku hanya bisa berdoa semoga mereka tetap kuat, apa pun yang akan terjadi nanti.


Photo by Rae Angela on Unsplash