Hari itu, kelas XI IPA-2 kedatangan murid baru. Namanya Anton. Kulitnya putih seperti susu, wajahnya rapi seperti tokoh drama Tiongkok yang sering jadi idola remaja. Cara bicaranya santai, cerdas, dan kadang-kadang lucu. Tak heran, hampir semua anak perempuan di kelas itu langsung menaruh perhatian lebih padanya.
Tapi yang mengejutkan semua orang adalah pilihannya untuk duduk sebangku dengan Wimara.
“Lo ga kayak cewe-cewe lain,” katanya santai waktu pertama kali duduk di sebelahnya.
“Gue bisa amanlah. Ga bakal kita saling naksir, Wim.”
Kalimat itu bikin Wimara cuma nyengir. Dia tipe yang cuek, dan memang sejak awal tidak terlalu peduli dengan drama percintaan di sekolah. Tapi sejak hari itu, dia tanpa sadar jadi “perantara” para penggemar Anton.
Setiap hari, ada saja makanan, minuman, bahkan surat kecil yang dititipkan padanya. Wimara dengan setia menyerahkan ke Anton, tapi jawabannya selalu sama:
“Lo makan aja, Wim. Gue ga demen sama orangnya. Kalo lo ga mau, buang aja.”
Anton memang segitu lurusnya. Tidak pernah memberi harapan. Tidak pernah flirt. Hanya belajar, bercanda seperlunya, lalu pulang.
Tapi seiring waktu, fans-fansnya mulai kelewat batas. Ada yang mulai sinis pada Wimara. Ada yang tiba-tiba berhenti menyapanya. Bahkan fitnah dan cibiran mulai beredar.
Anton beberapa kali sadar dan minta maaf.
“Maaf ya, Wim. Gue udah berusaha kasih tau mereka biar ga ganggu lo, tapi dasar cewe ndablek. Malah makin sengaja.”
Lama-kelamaan, Wimara jadi makin kuat mental. Ia memilih untuk tetap duduk di sana, tetap bercanda dengan Anton, dan tetap jadi dirinya sendiri. Sampai suatu pagi, semuanya berubah.
Bangku yang biasanya ia duduki sudah terisi. Seorang cewek bernama Alisa, salah satu penggemar Anton, tiba-tiba duduk di sana dengan wajah menang. Guru hanya berkata,
“Wimara, pindah ke depan ya. Itu kursi kosong di depan.”
Tidak ada pilihan lain. Wimara menghela napas dan berjalan ke bangku paling depan—bangku yang paling ia benci karena terlalu dekat dengan papan tulis dan semua mata murid.
Hari itu terasa panjang. Anton tidak banyak bicara. Tidak ada tawa. Tapi Wimara bisa merasakan tatapan Anton dari belakang, beberapa kali.
Sore itu, di gerbang sekolah, Anton menghampirinya.
“Wim, kok lo nurut sih disuruh pindah? Kalo lo mau bertahan, gue siap bantuin dan bela lo.”
Wimara hanya tertawa kecil, getir.
“Belain gue? Lo ga nyadar ya? Sejak lo dateng, gue dijadiin sasaran tembak fans lo. Udah berapa kali lo coba bela gue? Kita sama-sama tau cewe-cewe ndablek itu kayak tai.”
Anton terdiam lama, menarik napas panjang.
“Ya udah,” katanya akhirnya.
“Gue rasa emang sebaiknya lo pindah ke depan aja. Lebih aman buat mental lo. Itu cewe-cewe muna, biar gue yang urusin.”
Sejak hari itu, Anton berubah.
Bersambung ke Bagian 2
Photo by Feliphe Schiarolli on Unsplash