Posted in

Bayangan 13 Tahun Lalu

Bayangan 13 Tahun Lalu
Bayangan 13 Tahun Lalu

Sore itu, notifikasi kecil muncul di ponselku: “Follow request accepted.”
Aku terdiam. Nama itu begitu familiar. Sosok yang dulu—13 tahun lalu—jadi rebutan banyak perempuan.

Dia.
Cowok yang di mata kami sempurna: ganteng, kaya, ramah, selalu jadi pusat perhatian. Teman-temanku dulu sampai rela bersaing demi sekedar disapanya. Sedangkan aku? Aku cuma pengagum samar yang yakin dirinya terlalu “biasa” untuk dilihat oleh dia. Tapi anehnya, dia tak pernah merendahkan. Bahkan kami sempat berteman cukup dekat.

Waktu bergulir. BBM mati, Path lenyap, dan jejaknya menghilang.
Hari ini, dia kembali—lewat sebuah DM sederhana: “Hai, apa kabar?”

Aku membalas.
Awalnya ringan. Tapi semakin hari, obrolan itu semakin intens. Sampai akhirnya aku merasa perlu bilang ke suamiku.

Suamiku membaca isi chat. Dia hanya tersenyum, menjawab ramah, lalu berkata,
“Kalau mau ngobrol, ya silakan saja. Aku percaya kamu.”

Aku lega.


Malam itu, jam 10, telepon berdering.
Aku sempat ragu. Kutanya dulu pada suami. Dia mengangguk, meski sambil mengingatkan, “Udah malam, jangan kelamaan.”

Obrolan pun berlangsung. Lama. Panjang. Dia bercerita tentang hidupnya sekarang: istrinya, mertuanya, orang tuanya, masalah yang menumpuk.
Sementara aku hanya mendengarkan, mencoba menyusun ulang sosok sempurna yang dulu kukenal dengan cerita getir yang kini ia bawa.

Esoknya, DM lagi. Balasan story lagi.
Dan lagi.
Bahkan ia menanyakan berkali-kali kapan bisa menelpon. Aku mulai merasa risih. Sampai akhirnya aku cerita pada suami.

Jawaban suamiku sederhana, “Ajak ketemu aja.”


Pertemuan itu akhirnya terjadi.
Kami duduk bertiga. Aku, suamiku, dan dia.
Ngobrol panjang, tanpa putus. Dia menuturkan keluh kesah, kesepian, kebingungan. Dari dekat, wajahnya masih sama: tampan, terawat, gaya hidupnya jelas tak berubah. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Tatapannya kosong. Kata-katanya kadang melompat tak tentu arah.

See also  Satu Kata Nggak

Aku mendengarkan, suamiku pun begitu. Hingga malam semakin larut, kami pamit.

Dalam perjalanan pulang, suamiku tiba-tiba berucap pelan,
“Kasihan, ya…”

Aku menoleh, menahan napas sejenak.
“Iya,” jawabku lirih.

Kesempurnaan yang dulu begitu diagungkan, ternyata bisa runtuh hanya karena satu jebakan kehidupan. Dia—yang dulunya tampak tak tersentuh—kini hanyalah pria yang tersesat dalam cerita pahitnya sendiri.

Dan aku, yang dulu takut akan dimintai sesuatu, kini justru pulang dengan perasaan hampa.
Karena ternyata, lebih menakutkan melihat seseorang kehilangan dirinya sendiri, ketimbang kehilangan segalanya.


Photo by SaiKrishna Saketh Yellapragada on Unsplash