Malam itu, rumah sudah sepi. Anak-anak tidur pulas, hanya suara kipas angin yang menemani. Tiba-tiba ponselku bergetar — pesan dari dia, mantan suami, bapaknya anak-anak.
“Boleh gue telepon?” tulisnya singkat.
Aku sempat ragu, tapi akhirnya kujawab: “Ya.”
Beberapa menit kemudian, suara beratnya terdengar di seberang. Ada nada lelah, ada putus asa.
Dia mulai bercerita — proyek yang dia kerjakan ternyata belum dibayar sama sekali. Harapannya untuk menerima pembayaran separuh pun pupus. Padahal utang-utang sudah jatuh tempo.
“Lo ada kenalan nggak yang bisa bantu gue?” tanyanya, suaranya seperti orang tenggelam minta ditolong.
Aku menarik napas panjang.
“Enggak ada,” jawabku jujur.
Dia terdiam sejenak, lalu suaranya pecah.
“Gue nyesel banget. Nyesel selingkuh, nyesel nikahin dia. Sekarang gue malah makin hancur, utang numpuk, jiwa gue nggak tenang. Hidup gue berantakan.”
Aku mendengarkan dengan tenang. Dalam hati, aku bisa saja marah atau mencaci, tapi aku memilih berkata pelan:
“Nggak usah kamu sesali. Itu kan pilihanmu.”
Dia terisak. Katanya, istrinya yang sekarang PNS di salah satu kantor pemerintahan di Makassar pun tak membuat hidupnya lebih baik. Alih-alih membantu, justru utangnya semakin menumpuk.
Dan aku hanya bisa berpikir dalam hati — benar kata orang, beda istri, beda rezeki.
Mungkin dulu dia pikir menikahi gundik akan membuat hidupnya lebih ringan.
Ternyata, justru semakin berat.
Malam itu aku menutup telepon dengan perasaan campur aduk. Ada rasa kasihan, tapi ada juga rasa lega.
Hidupku memang tidak mudah setelah perceraian, tapi setidaknya aku bisa tidur dengan tenang — tanpa dikejar utang, tanpa rasa sesal yang mencekik.