Posted in

Biaya yang Tak Pernah Dianggap

Biaya yang Tak Pernah Dianggap
Biaya yang Tak Pernah Dianggap

Namanya Lestari. Orang-orang dekat memanggilnya Tari. Seorang perempuan yang setiap pagi menembus macet Jakarta demi sampai tepat waktu di kantornya—sebuah bank swasta tempat ia bekerja sebagai pegawai outsourcing dengan gaji pas-pasan, hanya setara UMR.

Hidup Tari bukanlah cerita yang mudah. Sejak kecil ia sudah yatim piatu, jadi tak ada orang tua yang bisa ia sandari saat lelah datang. Satu-satunya keluarga yang tersisa hanyalah kakak perempuannya, Dewi, yang sudah menikah dan punya dua anak. Suami Dewi hanya bekerja serabutan dengan penghasilan yang selalu cukup-cukup saja untuk makan harian mereka.

Tari tinggal di sebuah kamar kos sederhana di daerah Jakarta Timur. Setelah membayar sewa kos, makan, dan ongkos kerja, gajinya hampir habis tak bersisa. Tapi setiap bulan ia selalu menyisihkan sedikit, memaksa dirinya berhemat, untuk mengirimkan uang pada ponakannya yang pertama, Saka, yang duduk di bangku SMA.

“Sekolah SMA kan banyak biaya, Kak,” ujarnya dulu waktu Dewi menolak ketika Tari pertama kali ingin membantu. “Biar aku bantu ongkos sama keperluan Saka. Yang kecil kan masih SMP, sekolahnya deket rumah, bisa jalan kaki.”

Dua tahun lamanya Tari hidup dengan pola itu: kerja, hemat, kirim uang buat Saka. Ia bahkan rela jarang beli baju baru atau makan enak demi bisa tetap membantu keponakan yang dicintainya. Ia pikir, Dewi dan suaminya pasti berterima kasih.

Tapi kenyataannya tak seperti yang ia bayangkan.

Suatu hari, Tari pulang ke kampung halaman saat libur panjang. Saat itu ia baru tahu dari tetangganya bahwa kakak iparnya, Rian, ternyata sering ngomong di belakangnya. Katanya Tari ini gak adil. Katanya, kenapa cuma Saka yang dibantu, sedangkan adiknya, Dita, tidak pernah diperhatikan.

See also  Luka yang Menghidupkan

Tari tercekat saat mendengarnya. Malam itu juga ia coba bicara dengan Dewi.

“Kak, bener Mas Rian bilang aku gak adil?” tanyanya pelan.

Dewi hanya menunduk. “Dia cuma gak enak sama Dita. Takut nanti Dita merasa dianak-tirikan.”

Tari diam sebentar. Ada sesak yang sulit ia jelaskan. Padahal selama ini ia cuma ingin meringankan beban keluarga kakaknya. Ia sendiri saja hidup serba pas, bahkan sering kali lapar di akhir bulan.

“Ya sudah, Kak,” akhirnya Tari berkata, suaranya dingin. “Kalau gitu… biar adil, aku gak usah bantuin semua anak-anak Kakak lagi. Toh itu memang bukan tanggung jawabku.”

Dewi menatap Tari dengan mata berkaca-kaca. Tapi Tari sudah mantap dengan keputusannya.

Malam itu, untuk pertama kalinya, ia tidur dengan perasaan lega meski di dadanya ada perih yang menggantung.

Ia hanya ingin dicintai tanpa syarat. Tanpa harus dihakimi karena pilihannya membantu dengan cara yang ia mampu.

Dan sejak saat itu, Tari berhenti mengirimkan uang.

Ia memilih menabung untuk dirinya sendiri. Untuk hidupnya yang juga masih panjang.

Karena ia sadar, kebaikan tak selalu dihargai. Dan ia berhak untuk berhenti kapan pun ia lelah.


Photo by SEO Galaxy on Unsplash