Posted in

Cerita dari Sudut yang Terabaikan

Cerita dari Sudut yang Terabaikan
Cerita dari Sudut yang Terabaikan

Orang bilang, karma itu nyata. Kadang kita tidak percaya sebelum melihat sendiri bagaimana hidup memberi balasan pada niat dan perbuatan seseorang.

Kakak laki-laki saya, lulusan S2 dengan predikat cumlaude, punya jabatan paling tinggi di kantornya saat ini. Dulu… semua orang menyangka ia akan menikah dengan perempuan selevel: cantik, pintar, mapan, bahkan kariernya setara. Tapi ia justru memilih menikah dengan perempuan kampung yang hanya tamatan SD. Waktu itu ia merantau ke kota, bekerja menjaga kedai jajanan sederhana. Wajahnya manis, perangainya lugu, sopan, dan baik hati. Saat itu bahkan ia belum berjilbab.

Orang tua kami… menentang? Sama sekali tidak. Mereka justru mendukung penuh pernikahan itu. Alasannya sederhana: mereka melihat perempuan itu baik, dan hanya itu yang penting. Bagaimana dengan saya, satu-satunya saudara perempuan? Saya? Jujur saja, saya tidak peduli. 😁 Saya bukan tipe orang yang iri atau suka ikut campur.

Awal pernikahan, mereka tinggal di rumah orang tua karena kakak masih kerja serabutan. Saya masih lajang waktu itu, jadi kami bertiga tinggal bersama. Kakak ipar selalu bangun paling pagi, sedangkan saya… ya paling siang. Sebulan setelah menikah, mama bicara kepada saya, menasihati, “Jangan semena-mena sama kakak iparmu. Dia di sini nggak punya siapa-siapa. Dia harus disayang.”
Saya hanya mengangguk. Saya memang bukan orang yang perhatian, juga bukan yang suka ribut soal hak atau iri pada orang lain.

Setiap bulan, orang tua memberi mereka uang belanja karena kakak masih belum mapan. Bahkan, mama sering membelikan perhiasan untuk kakak ipar. Saya? Tidak kebagian, tentu saja. Tapi… saya tidak peduli juga. Saya tidak suka pakai perhiasan.

See also  Ikhlas yang Terluka

Tiga tahun berlalu. Hidup kakak mulai berubah. Ia mendapatkan pekerjaan yang sangat layak. Tiba-tiba orang tua memberi mereka sejumlah uang lagi, untuk DP rumah karena mereka sudah punya anak kecil waktu itu. Bahkan setelah itu pun orang tua tetap membantu sampai kakak sendiri yang akhirnya berkata, “Cukup, Ma, Pa… kami sudah mampu.” Dan memang benar, kini kehidupan mereka sudah kokoh, sangat mapan, dan rumah tangga mereka harmonis.

Waktu berlalu, orang tua mulai menua. Sakit-sakitan. Saat mereka terbaring lemah di rumah sakit, siapa yang paling sigap? Kakak ipar. Ia selalu ada di samping mereka. Bahkan rela meninggalkan suami dan anak seminggu penuh hanya untuk merawat orang tua saya.

Sedangkan saya? Saya hanya bisa datang sebentar, kalah cepat, kalah telaten, kalah segalanya. Dia selalu menang dalam setiap perdebatan tentang siapa yang lebih tahu cara merawat mereka. Ia begitu telaten, begitu sayang pada orang tua saya, bahkan lebih dari saya sendiri. Sampai saya bertanya dalam hati: sebenarnya siapa yang anak kandung, dan siapa yang menantu?

Sekarang orang tua kami benar-benar menjadi raja dan ratu di hari tua mereka. Kakak ipar hampir tiap hari datang ke rumah mereka. Kami semua anak-anaknya sudah tinggal di rumah masing-masing, sibuk dengan hidup masing-masing. Tapi dia… dia selalu datang.
Dan saat saya melihat itu semua, saya mengingat kembali perlakuan orang tua saya dulu padanya — menyayangi, membantu, melindungi — saya baru sadar: karma itu nyata. Semua kebaikan yang kita tanam pada seseorang, akan tumbuh dan kembali kepada kita.

Saat menulis ini… entah kenapa saya sedikit mewek. Mengingat bagaimana kakak dan istrinya memperlakukan orang tua saya dengan sangat baik, saya merasa seperti anak angkat yang sedikit… tidak berguna. 😤

See also  Between Burden and Hope: The Story of a Brother Who Never Gave Up

Tapi saya belajar satu hal besar: jangan pernah meremehkan kebaikan kecil. Karena kelak, ia yang kau perlakukan dengan baik akan jadi penopang di saat kau rapuh.


Image by beasternchen from Pixabay