Eka baru tahu belum lama ini, kalau dulu sebelum ia menikah, ada perkataan yang sempat bikin ibunya kepikiran. Salah satu saudaranya pernah nyeletuk ke mama:
“Eka kok belum keliatan mau nikah, Mba? Udah mau 30 loh. Jangan-jangan diguna-guna sama si mantan yang satu suku itu. Hati-hati loh.”
Mama hanya menjawab singkat, menahan rasa tidak enak di hatinya:
“Ya doain aja…”
Padahal saat itu, Eka baru saja putus dengan mantan yang benar-benar ia perjuangkan. Hubungan yang hampir sampai ke jenjang serius. Namun, Tuhan punya rencana lain.
Waktu berlalu. Eka dipertemukan dengan sosok yang mungkin jauh di luar dugaan siapa pun. Bukan orang Indonesia, tapi Alhamdulillah beragama Islam, mapan, penyayang, dan yang paling penting—tulus menerima Eka beserta keluarganya. Seakan doa Mama dijawab dengan cara yang lebih indah dari perkataan julit yang pernah ia dengar.
Namun, ternyata kabar bahagia Eka tidak disambut hangat oleh semua orang. Saudara yang dulu sempat berucap sinis itu, sejak Eka tunangan, menikah, sampai punya anak, tidak pernah menunjukkan rasa ikut bahagia. Berbeda dengan saudara-saudara lain yang dengan tulus memberi ucapan dan doa.
Bahkan saat Eka pulang ke Indonesia, sekadar basa-basi pun tidak ada, apalagi mengajak bertemu. Eka hanya bisa tersenyum kecut dan bertanya dalam hati,
“Aku salah apa sama kamu, Tante? Padahal dulu waktu suamimu masih merintis usaha, orang tuakulah yang ikut bantu. Astaghfirullah… semoga Allah jaga hatiku dari rasa sakit hati ini.”
Pada akhirnya, Eka sadar—tidak semua orang mampu ikut bahagia dengan kebahagiaan kita. Tapi selama doa orang tua menyertai, dan suami serta keluarga kecilnya berjalan dalam keberkahan, itu sudah lebih dari cukup.
Photo by Jeremy Yap on Unsplash