Tahun 2014 adalah tahun paling membingungkan dalam hidup Anton.
Ia sudah setahun pacaran dengan seorang pria bernama Kevin, seorang pendatang dari pulau seberang yang rela menyusul Anton ke kota tempatnya merantau. Hubungan mereka terasa serius — Anton merasa Kevin adalah takdirnya.
Namun, hidup punya selera humor sendiri.
Di kantor, Anton dekat dengan seorang rekan kerja, sebut saja Tama. Mereka satu suku, satu agama, satu iman. Karier mereka pun sama-sama menjanjikan.
Lalu, datanglah hari itu.
Hari saat Tama menatap mata Anton dan berkata,
“Ant, kita nikah yuk.”
Anton terdiam. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena takut, tapi karena ada sesuatu dalam tatapan Tama yang membuat dadanya hangat.
Namun, bibirnya hanya mampu berucap lirih,
“Aku… nggak bisa.”
Itu bukan penolakan, tapi lebih seperti teriakan hati yang terjebak.
Karena di luar sana, ada Kevin. Pria yang sudah lebih dulu ia pilih.
Sejak hari itu, sesuatu berubah.
Tak lama setelah “lamaran” itu, Tama mulai berpacaran dengan rekan kerja lain. Anton kaget — sekaligus cemburu. Tapi apa haknya untuk marah? Dialah yang tidak bisa menerima Tama.
Puncak kegalauannya terjadi suatu siang. Seorang teknisi datang ke kantor untuk mengecek wifi. Spontan Anton bercanda ke temannya,
“Cin, ih ganteng banget ya!”
Beberapa menit kemudian, temannya datang sambil terkekeh,
“Ant, si Tama misuh-misuh dengar kamu muji abang teknisi!”
Anton hanya tersenyum kecil — dalam hati ia GR setengah mati.
Ternyata, Tama masih memperhatikannya.
Namun, rasa itu lama-lama berubah jadi perang dingin. Anton cemburu melihat Tama dengan pacarnya, Tama pun cemburu melihat Anton dengan Kevin. Semua memuncak suatu sore ketika mereka beradu mulut hebat di kantor.
“Kenapa kamu selalu begini, Ant?!” bentak Tama.
“Kamu pikir kamu siapa, Ta?!” balas Anton dengan nada tinggi.
Tama meraih botol Baygon di dekat meja, wajahnya merah padam.
Anton terpaku — ia tak menyangka pertengkaran mereka bisa sejauh ini.
Dan di puncak emosinya, Anton mengucapkan kalimat hinaan yang ia tahu akan melukai Tama sedalam-dalamnya.
Sejak hari itu, mereka tak pernah berbicara lagi.
Beberapa minggu kemudian, Tama dipindahkan ke cabang lain. Ironisnya, cabang itu adalah tempat adik Anton bekerja.
Suatu malam, telepon berdering.
“Ant, tahu nggak?” suara adiknya terdengar geli. “Kau diajak nikah sama Pak Tama kok kau tolak?”
Anton terperangah.
“Dia bilang apa ke kamu?”
Adiknya menirukan suara Tama,
“Kakakmu itu bodoh, ku ajak nikah nggak mau.”
Anton tak bisa menahan tawa. Dalam hatinya, ia merasa bangga.
Ternyata, bahkan setelah pertengkaran besar itu, Tama masih memikirkan dirinya.
Namun hidup kembali memberi plot twist.
Kevin — pria yang dipertahankannya mati-matian — ternyata berselingkuh dengan rekan kerja mereka.
“Dasar pig!” gerutu Anton sambil menangis di malam putusnya.
“Kalau tahu dari awal, mending aku terima Tama!”
Tapi semua sudah terlambat.
Beberapa tahun kemudian, Tama menikah. Bukan dengan rekan kerja mereka, karena beda agama, melainkan dengan perempuan lain.
“Harusnya waktu kau putus sama Kevin, langsung telepon Tama,” kata adik Anton suatu kali.
“Karena waktu itu dia masih ngomong kasihan sama kamu diselingkuhin bocil!”
Anton hanya bisa tertawa getir.
Hubungan dengan Kevin berakhir setelah 4,5 tahun. Kevin kini sudah menikah dan punya anak. Anton?
Masih sendiri.
Namun, setiap kali mengingat semua itu, Anton sadar — ia pernah merasakan cinta yang begitu besar, meskipun berakhir dengan luka.