Sejak tahun 2017, hidup kakakku berubah drastis. Suaminya pergi meninggalkan dia bersama tiga anak yang masih kecil. Hari-hari mereka penuh kesulitan; kadang untuk sekadar makan saja terasa begitu berat. Aku masih ingat jelas bagaimana keponakan-keponakanku sering menahan lapar, sementara kakakku berusaha tegar meski wajahnya penuh letih.
Saat itu aku hanya seorang karyawan dengan gaji setara UMR Jakarta. Tidak banyak yang bisa kubanggakan. Tapi ketika melihat kakakku terpuruk, hatiku tidak tega. Aku memberanikan diri untuk memberikan seluruh gajiku kepadanya—100 persen tanpa tersisa. Untuk kebutuhan sehari-hari, aku hanya mengandalkan bonus atau rezeki kecil lain yang datang sesekali.
Orang mungkin menganggapku bodoh. Tapi sejak keputusan itu, hidupku justru berubah. Anehnya, rezeki seperti mengalir deras tanpa henti. Dalam waktu enam tahun, aku naik jabatan empat kali, padahal aku sendiri merasa kemampuan kerjaku biasa saja. Entah apa alasannya, tapi aku yakin Tuhan melihat niat baikku untuk membantu kakakku.
Kini keadaan sudah jauh lebih baik. Kakakku tak lagi bergantung pada gajiku, karena aku membangunkan usaha rumah makan untuknya. Dia bisa mandiri, menghidupi anak-anaknya, dan tersenyum lagi.
Bagiku, perjalanan ini adalah bukti bahwa berbagi tidak pernah membuat kita kekurangan. Justru dari ketulusan itulah, keberkahan hidup bermula.
Photo by Alicia Christin Gerald on Unsplash