Posted in

Ganci Misterius di Taman Kota

Ganci Misterius di Taman Kota
Ganci Misterius di Taman Kota

Sore itu taman kota cukup ramai. Wimara duduk santai di bangku taman sambil mengawasi anaknya yang sedang bermain perosotan bersama suami. Sementara itu, dia memasang headphone, tenggelam dalam podcast favoritnya. Udara sore yang sejuk membuat suasana terasa damai.

Tiba-tiba, dari sudut mata, Wimara melihat seorang anak kecil mendekat. Bocah itu manis sekali memanggil,

“Ibu…”

Wimara melepas salah satu earphone dan tersenyum ramah,

“Iya, dek?”

Bocah itu semakin dekat, tangannya meraih gantungan kunci (ganci) lucu yang tergantung di tas Wimara. Wimara hanya tersenyum. Tidak ada percakapan lain, si bocah balik badan dan pergi.

Lima menit kemudian, bocah itu kembali, melakukan hal yang sama: mendekat, menyentuh ganci, lalu pergi tanpa suara. Wimara tetap tenang, mengira anak itu hanya penasaran.

Tiba-tiba, seorang ibu-ibu datang tergesa, menepuk bahu Wimara.

“Bu, anak saya dari tadi nangis loh, nyamperin ibu tapi ibu cuekin. Jangan gitu lah bu, kasian anak saya. Dia masih kecil, jangan tega sama anak kecil.”

Wimara kaget setengah mati. Dalam hati ingin marah, tapi dia menarik napas dulu dan tetap bicara sopan.

“Maaf bu, masalahnya apa ya? Anak ibu nangis, tapi saya nggak ngapa-ngapain kok.”

Ibu itu menggeleng keras.

“Ya nggak boleh cuekin anak kecil. Mereka itu lucu, nggak ngerti apa-apa.”

Wimara mencoba tetap sabar.

“Bu, saya juga punya anak. Dia lagi main sama bapaknya. Ngapain saya harus ngurusin anak ibu? Kalau anak ibu lucu, ya lucu menurut ibu. Bagi saya, anak saya lah yang paling lucu.”

Bukannya reda, si ibu malah makin ngomel, sementara anaknya menangis semakin kencang.
Hingga akhirnya ketahuan: si anak ternyata naksir ganci di tas Wimara!

“Oh… ternyata cuma mau ganci ini?” kata Wimara sambil menghela napas.

Karena sudah kesal, dia tetap tidak memberikannya. Suaminya yang melihat situasi mulai panas langsung mengajaknya pergi.

See also  Kumbang dan Sebotol Air Mineral

Di jalan pulang, Wimara hanya bisa tertawa ngakak.

“Astaga, ternyata drama ibu-ibu di taman kota itu nyata, bukan cuma di sosmed!”

Sejak saat itu, Wimara berjanji dalam hati: tidak akan pernah jadi ibu yang marah-marah ke orang asing hanya karena anaknya nangis.


Photo by Leo Rivas on Unsplash