Posted in

Hidupku Sudah Indah

Hidupku Sudah Indah
Hidupku Sudah Indah

Mira menatap layar ponselnya lama sekali.
Pesan itu pendek, tapi cukup untuk membuat dada yang sudah lama tenang tiba-tiba terasa sesak.

“Mba, is it possible to call u, … aku mohon, please.”

Nama pengirimnya membuat Mira terdiam.
Rani.
Istri baru Bima, mantan suaminya.
Wanita yang dulu menjadi badai paling besar dalam hidupnya.

Bertahun-tahun Mira tak pernah berkomunikasi dengan mereka berdua.
Sejak hari ia pergi, semua jalur komunikasi diputus.
Dan Mira memilih membangun hidupnya lagi, pelan-pelan, hingga berdiri kokoh.

Pesan itu belum sempat ia balas, tapi ponselnya sudah berdering.
Nama yang sama.
Mira menarik napas panjang dan mengangkatnya.

Di seberang sana hanya terdengar isak tangis.
Lama sekali.
Sampai akhirnya suara itu pecah,
“Mba… aku mau bercerai.”

Mira hanya diam, mendengarkan.
Tidak ada kata yang keluar, hanya telinga yang ia pinjamkan untuk mendengar air mata Rani.

Setelah tangisnya reda, Rani berkata lirih,
“Aku minta maaf, Mba… atas semuanya.”

Mira memejamkan mata, menarik napas pelan.
“Lupakan saja… sudah bertahun berlalu. Apa rencanamu?”

“Aku semalam lari dari rumah,” jawab Rani dengan suara bergetar.
“Dia… memukuliku. Mabuk berat. Aku mau pulang ke kota, ke rumah orangtuaku.
Mba…” suaranya makin lirih,
“…kembalilah ke Mas Bima. Jangan biarkan dia hancur sendirian.”

Mira hampir tertawa mendengarnya.
Kembali? Setelah semua yang ia lalui?
Setelah badai yang nyaris menenggelamkannya?

“Usahanya jatuh, ya?” tanya Mira datar.

“Rumah habis… mobil habis… tinggal motor satu.
Dia marah terus, bilang semua salahku.”

Mira terdiam sejenak.
Ada rasa ingin tertawa, ada rasa ingin berteriak akhirnya.
Tapi ia hanya menutup percakapan itu dengan kalimat sederhana:

“Hidupku sekarang sudah sangat baik… sangat indah.”

See also  Mulut yang Lebih Tajam dari Belati

Telepon ditutup.

Mira duduk lama di tepi ranjang, menatap langit-langit kamar yang redup.
Ingatannya melayang —
Hari ketika ia ditinggalkan demi seorang janda muda dengan empat anak.
Malam-malam penuh tangisan.
Pagi-pagi pura-pura kuat.
Tahun-tahun belajar memaafkan.

Dan kini, dunia seperti berputar.

Hidup memang seperti ladang, pikir Mira.
Apa pun yang kamu tanam, cepat atau lambat akan berbuah.
Dulu ia menanam luka, air mata, dan kecewa.
Tapi kemudian ia menanam kesabaran, doa, dan keberanian untuk bangkit.
Dan hari ini, ia memetik hasilnya — ketenangan.

Mira tersenyum kecil.

Hidupnya kini indah.
Dan ia tak akan menukar ketenangan itu dengan apa pun — bahkan dengan kesempatan mengulang masa lalu.


Photo by Wesley Hilario on Unsplash