Bagian 1: Kado Ulang Tahun
Namaku Silfa. Ulang tahunku ke-27 kemarin seharusnya menjadi hari yang penuh peluk dan doa. Tapi pagi itu aku tidak mendapat pelukan, tidak juga kue tart. Yang aku dapat hanya kata-kata yang lebih tajam dari pisau dapur—
“Aku talak kamu. Talak tiga.”
Tidak ada jeda. Tidak ada jeda untuk menawar perasaan.
Aku terdiam. Dunia seakan kehilangan gravitasi. Tiga balita yang selalu aku jaga siang malam seperti tidak tahu bahwa ibunya baru saja kehilangan status, kehilangan rumah, kehilangan pegangan.
Sejak hari itu, aku merasa menjadi orang asing.
Di rumah yang dulu kusebut rumah, aku cuma jadi pengasuh. Di cermin, aku tak mengenali wajahku. Yang ada hanya bayangan perempuan muda dengan mata kosong, bibir kering, dan jiwa yang tak tahu harus lari ke mana.
Tapi diam-diam aku mulai merangkai rencana. Rencana yang bahkan tidak sempat aku bicarakan dengan siapa-siapa. Tidak dengan ibuku, tidak dengan teman-temanku. Hanya aku dan Tuhan yang tahu.
Bagian 2: Keberangkatan
14 Juni, dini hari. Dengan tiga anak dan dua koper yang sebagian besar berisi pakaian kecil, aku naik travel menuju Palembang.
Aku tidak punya siapa-siapa di sana, kecuali harapan.
Harapan bahwa aku bisa menemukan diriku lagi. Harapan bahwa di tanah yang asing, aku bisa membangun ulang reruntuhan diriku.
Anak-anak tidur di pangkuanku. Satu menyusu, satu mendengkur pelan, satu lagi menggenggam ujung bajuku. Aku menahan tangis. Bukan karena takut. Tapi karena ini pertama kalinya dalam hidup aku memilih untuk bertahan, bukan untuk dipertahankan.
Bagian 3: Awal Baru
Palembang tidak menyambutku dengan pelukan hangat. Tapi dia juga tidak menolakku. Aku menumpang di rumah saudara jauh. Sempit, tapi cukup untuk tidak membuatku merasa seperti gelandangan.
Setiap pagi, aku bangun lebih awal dari sebelumnya. Bukan untuk memasak buat suami, tapi untuk menguatkan diri. Untuk anak-anakku. Untuk aku sendiri.
Aku mulai menulis lagi, sesuatu yang dulu aku cintai tapi kulepaskan sejak menikah. Aku mencatat rasa sakit, mencatat rasa syukur. Aku mulai belajar menjahit dari YouTube, menjual hasil kecil-kecilan lewat WhatsApp.
Dan yang paling penting, aku mulai bicara pada Tuhan. Bukan sekadar doa hapalan, tapi percakapan yang jujur. Aku bilang,
“Tuhan, aku nggak kuat. Tapi aku mau kuat. Tolong bantu aku.”
Bagian 4: Mencari Silfa
Setiap langkah di Palembang adalah upaya menemukan Silfa yang dulu. Yang punya mimpi, yang suka tertawa tanpa beban, yang pernah percaya bahwa hidup bisa lebih dari sekadar bertahan.
Aku tidak ingin anak-anakku tumbuh melihat ibunya lelah dan kalah. Aku ingin mereka melihat ibu yang belajar bangkit, yang meski pernah hancur, tetap punya nyali untuk berdiri.
Aku belum selesai. Tapi sekarang, untuk pertama kalinya dalam waktu lama, aku merasa… hidup.
Dan meski masa depan masih kabur, aku yakin, aku tidak sendiri.
Photo by Jan-Niclas Aberle on Unsplash