Anton pertama kali mengenal Wimara dua tahun lalu. Gadis itu sederhana, hangat, dan manis di mata Anton. Tak mudah mendekatinya — perlu waktu dua tahun penuh kesabaran hingga akhirnya Wimara luluh dan menerima Anton menjadi kekasihnya.
Hubungan mereka berjalan sekitar enam bulan. Di awal, Anton memang bukan tipe cowok yang royal. Baginya, pacaran tak perlu bermewah-mewahan. Yang penting, saat mereka jalan bersama, Wimara tidak pernah lapar dan tetap nyaman. Anton pikir, itu sudah cukup menunjukkan niat baiknya.
Namun, beberapa bulan kemudian, Wimara mulai bicara soal keseriusan. Dia ingin hubungan mereka tidak sekadar pacaran. “Aku ingin kita tunangan,” kata Wimara suatu malam. Dia bahkan sudah memilih cincin emas seharga hampir tiga juta rupiah sebagai “tanda janji”. Anton sempat ragu, mereka sempat berdebat panjang soal itu. Tapi pada akhirnya, Anton mengalah. Dia memilih mempercayai Wimara dan keluarga yang sudah ia kenal baik.
Sejak saat itu, perlahan sikap Wimara berubah. Dia mulai memberi kode ingin ini, ingin itu. Anton, yang sudah telanjur percaya, selalu menurut saja. Dalam pikirannya: toh dia sudah mengenal keluarga Wimara, semua tampak baik-baik saja. Dia ingin menunjukkan kesungguhannya.
Namun yang membuat Anton mulai curiga, setiap kali ia mengajak Wimara bicara soal pernikahan, Wimara selalu mengelak. Ada saja alasannya. Sampai akhirnya, permintaan Wimara semakin jauh: dia ingin motor. Anton yang sudah terlalu dalam, akhirnya menyerah dan memberikannya sebuah motor. Tapi yang membuatnya syok adalah ketika ia tahu motor itu malah ditukar tambah oleh Wimara demi sebuah Scoopy, yang dia jual lagi seharga 4,5 juta rupiah.
Di titik itu Anton sadar, ada yang tidak beres. Rasanya semua seperti skenario yang sudah disiapkan. Dalam pikirannya bahkan muncul dugaan ada empat orang lain yang ikut “bermain” dalam drama ini, memanfaatkan dirinya sebagai korban. Dengan penuh tekad, Anton menyewa pengacara dan melayangkan somasi, bahkan dua kali. Namun kedua somasi itu ditolak mentah-mentah.
Dan yang paling mengejutkan Anton, saat dia berbicara dengan ketua RT, RW, bahkan beberapa tetangga Wimara, mereka justru berkata dengan nada prihatin, “Bukan cuma kamu, Mas. Sebelum-sebelumnya juga ada yang seperti ini.”
Seolah-olah ini bukan sekadar kebetulan. Seolah-olah ini memang semacam sindikat kecil yang sudah biasa memperdaya orang lain. Anton hanya bisa menghela napas panjang, sembari berharap kasus ini bisa berjalan lancar.
Di hatinya, Anton berdoa: semoga tak ada lagi korban berikutnya yang jatuh ke perangkap yang sama.
Photo by Jakub Żerdzicki on Unsplash