Posted in

Kebaya di Tengah Malam

Kebaya di Tengah Malam
Kebaya di Tengah Malam

Malam itu, udara Surabaya terasa pengap meski gerimis mengguyur jalanan kota. Lintang baru saja keluar dari kantor, pukul hampir menunjuk 10.30 malam. Lelang proyek minggu depan membuatnya harus lembur menyiapkan berkas. Dengan ransel di punggung dan helm di tangan, ia menaiki motornya, siap pulang ke rumah di daerah Jemursari.

Saat melewati depan Royal Plaza, pandangannya tertumbuk pada sosok yang membuatnya menahan gas.

Seorang nenek.

Berjalan pelan. Tanpa alas kaki. Sandal dijinjing. Pakaiannya seperti dari masa silam—kebaya lusuh dan jarik batik kusam. Selendang tua menyilang di bahu, menggembung seperti menggendong sesuatu.

Lintang sempat ragu. Tapi rasa iba menusuk dadanya lebih kuat.

Ia menepi.

“Nek, mau ke mana?” tanyanya pelan.

“Sepanjang, Nak… kaki saya udah gak kuat,” jawab sang nenek lirih, sembari menatap Lintang dengan mata berkaca-kaca.

Lintang menelan ludah. Helm hanya satu. Tapi ia tak tega meninggalkan nenek itu sendiri malam-malam.

“Yasudah Nek, saya antar. Tapi cuma sampai Taman Pelangi ya, di sana ada pos polisi.”

Sang nenek mengangguk. Lintang menundukkan badan, membantu nenek naik, lalu memacu motornya perlahan menembus rintik hujan.

Sampai di pos polisi, ia berhenti. Lalu menghampiri petugas.

“Pak, nenek ini mau ke Sepanjang, bisa dibantu? Saya gak searah.”

Polisi hanya mengangkat tangan, “Maaf Mbak… gak bisa. Kalau bisa, antar saja sekalian.”

Lintang bingung. Malam makin larut. Tapi ia tak mungkin membiarkan nenek itu sendiri.

Ia menghela napas. “Yaudah Nek, saya antar sampai Flyover Waru ya.”

Tapi saat sampai di Waru, nenek itu tidak mau turun. Justru mulai membentak, menyuruh Lintang segera lanjut ke Sepanjang.

“Lho, kan tadi minta ke Waru?” tanya Lintang heran.

See also  Cerita Hari Itu di Warungku

“Ndak. Saya bilang Krian!” bentaknya. Orang-orang di sekitar memandang dengan tatapan tidak enak. Ada yang geleng-geleng, ada yang berbisik, tapi tak satu pun menolong.

Lintang ingin menangis. Nenek itu tetap duduk di boncengan dan tak mau turun.

“Kalau saya paksa turun, saya kelihatan kayak cucu durhaka!” batinnya.

Akhirnya, dengan hati kalut, Lintang lanjutkan perjalanan hingga pertigaan Sepanjang. Di sana ia kembali berhenti.

“Nek, turun ya. Saya harus pulang.”

“Ndak! Antar saya sampai Krian!” hardiknya lagi.

Lintang mulai panik. Suaranya bergetar.

“Nek, saya gak bisa. Orang tua saya nunggu di rumah. HP saya mati.”

Orang-orang mulai berkumpul. Tapi lagi-lagi, tak ada yang bantu. Hingga seorang bapak-bapak berseragam sipil datang dan mendekat cepat.

“Mbak, saya bantu ya,” ucapnya. Ia langsung mencoba menarik sang nenek turun dari motor.

“Jangan, Pak! Kasihan!” Lintang hampir menangis. “Tapi saya benar-benar gak bisa, saya takut orang rumah panik…”

Bapak itu menatap Lintang dalam-dalam. “Mbak, ini modus baru begal. Percaya deh sama saya. Saya ini intel. Nenek ini bukan sembarang nenek.”

Lintang tercengang. Kata-kata itu menusuk dingin ke dalam kepalanya.

Seorang nenek? Begal?

Ia tak bisa berkata apa-apa.

Setelah sang bapak berhasil menurunkan nenek itu, ia hanya berkata, “Cepat pulang. Jangan berhenti lagi di jalan. Hati-hati.”

Lintang mengangguk. Tangan gemetar saat menghidupkan motor.

Di jalan, air matanya pecah. Ia menangis sejadi-jadinya. Tak tahu apa yang baru saja terjadi. Tapi satu hal yang ia yakin…

Tuhan baru saja menyelamatkannya.


Photo by 烧不酥在上海 老的 on Unsplash