Posted in

Kisah Luka dan Percaya Dua Kali

Kisah Luka dan Percaya Dua Kali
Kisah Luka dan Percaya Dua Kali

Dinginnya malam itu masih membekas di tulang-tulangku, meski sudah tujuh tahun berlalu. Aku mengalah, mundur dari pertarungan yang tidak layak diperjuangkan. Mantan suamiku memilih dia, si pelakor yang juga meninggalkan rumah tangganya sendiri. Suaminya waktu itu, konon, hanya bisa pasrah menerima gugatan cerai istrinya yang sedang kasmaran buta. Aku membangun kembali hidupku, perlahan, dari puing-puing rasa percaya diri yang hancur.

Lalu, hadirlah Diaz. Sebuah cahaya setelah kelam yang begitu panjang. Diaz yang sabar, yang perlahan membuatku belajar membuka diri lagi. Butuh waktu hampir dua tahun baginya untuk membuatku yakin bahwa tidak semua laki-laki sama. Aku mulai percaya, mulai berani mencintai lagi. Aku bahkan mulai membayangkan masa depan, sesuatu yang selama ini kupendam dalam-dalam.

Hingga suatu malam, teleponnya berbunyi. Dia sedang mandi. Aku melihat layarnya menyala, notifikasi dari seorang perempuan bernama Siska. Bukan isi chatnya yang membuatku penasaran, tapi jumlah notifikasi yang bertumpuk. Sebuah firasat buruk menggigit naluriku.

Dengan jari yang gemetar, aku membukanya. Dan dunia pun runtuh untuk kedua kalinya.

Chatnya penuh dengan janji-janji manis, keluhan tentang pasangan masing-masing, dan rencana-rencana pertemuan rahasia. Bahasa yang mereka gunakan akrab, mesra, dan sama persis seperti yang dulu kualami. Aku membaca percakapan mereka yang merencanakan weekend bersama saat suami Siska dikatakan sedang dinas luar kota. Aku merasa mual, pusing, dan seluruh tubuhku lunglai.

Diaz keluar dari kamar mandi, tersenyum. “Sayang, ada apa?”

Aku menatapnya, tapi yang kulihat adalah bayangan mantan suamiku dan perempuan itu tujuh tahun silam. Rasanya seperti dihantam badai yang sama, di tempat yang sama persis. Air mataku tidak bisa keluar, seperti terkunci oleh betapa klise-nya nasib ini.

See also  Antara Luka dan Pilihan

“Kamu… dengan Siska?” suaraku bergetar, hampir tak terdengar.

Wajahnya berubah pucat. Dia tak menyangkal. Dia hanya terdiam, yang merupakan pengakuan paling jujur yang pernah dia berikan.

“Ya Allah,” bisikku. Hancur. Hancur berkali-kali lipat dari yang pertama. Karena kali ini, aku sudah membangun benteng yang begitu kokoh, dan dia yang merobohkannya dengan mudah.

Diaz mencoba menjelaskan, berkata bahwa itu hanya kesalahan, bahwa dia bingung. Tapi semua kata-katanya tenggelam dalam deru pilu di kepalaku. Satu-satunya pertanyaan yang terus menggorok relung hatiku yang paling dalam: Apakah seperti ini selalu akan terulang?

Aku memandangnya, pria yang kukira akan membawaku keluar dari kegelapan, justru melemparku ke lubang yang sama. Rasa percaya itu, yang sudah susah payah kubangun, kini remuk redam. Bagaimana mungkin aku bisa memulai lagi dari nol? Bagaimana mungkin aku akan percaya lagi, jika yang kudapat adalah pengkhianatan yang sama?

Aku berjalan meninggalkannya, meninggalkan rumah yang tiba-tiba terasa begitu pengap. Di jalanan yang sepi, aku menangis. Bukan untuk Diaz, bukan untuk mantan suamiku, tapi untuk diriku sendiri. Untuk keyakinan yang mungkin tak akan pernah lagi utuh.

Apakah ini selalu akan terulang? Mungkin tidak. Tapi untuk saat ini, yang kurasakan adalah luka yang begitu dalam, dan sebuah pelajaran pahit: terkadang, kata “move on” yang selama ini kuperjuangkan, harus kupelajari lagi dari nol, untuk kedua kalinya. Dan kali ini, rasanya jauh lebih sakit.


Photo by Anna Zakharova on Unsplash