Namanya Raka, 43 tahun. Seorang ayah dari tiga anak yang masih kecil. Dulu, ia adalah bintang di industrinya—dua puluh tahun berkarya, memimpin proyek bernilai miliaran, namanya dikenal dan dihormati.
Tapi tiga tahun terakhir, hidupnya seperti macet di lampu merah.
Ia menyebut dirinya “pengangguran profesional.”
Sudah 818 kali ia melamar kerja.
818 kali pula ia ditolak, atau lebih buruk lagi—digantung tanpa kabar.
Setiap pagi ia tetap berpakaian rapi. Kemeja disetrika, sepatu disemir hingga mengilap.
Anak-anaknya melihatnya pergi kerja dengan senyum yang ia paksakan.
Padahal ia hanya pergi naik motor tuanya, singgah di sebuah kafe kecil dengan wifi gratis.
Di sudut paling belakang kafe itu, ia membuka laptop tuanya.
Membuka lowongan kerja, mengetik CV yang sudah entah berapa kali diubah.
Tapi sering kali jari-jarinya berhenti di atas keyboard, matanya kosong menatap layar.
Bukan karena tak ada ide, tapi karena dompetnya hanya cukup untuk segelas kopi hitam dan ongkos pulang.
Di rumah, keadaan tak kalah berat.
Istrinya sudah berhenti bekerja, tabungan mereka habis.
Bulan lalu mereka harus memilih—bayar listrik atau beli susu formula.
Anak pertamanya harus mendaftar sekolah, tapi rekening mereka nyaris nol.
Malam-malam, Raka duduk di teras rumah.
Mendengar suara jangkrik, sambil mendengar istrinya berbisik:
“Mas, kapan ya hidup kita balik seperti dulu?”
Ia hanya diam, menatap langit.
Takut kalau membuka mulut, air matanya jatuh.
Pernah suatu malam ia menulis pesan ke seorang teman:
“Aku capek.”
Tapi besok paginya, ia tetap bangun.
Tetap mengenakan kemejanya.
Tetap menyalakan motornya.
Karena di rumah ada tiga pasang mata kecil yang butuh melihat ayahnya kuat.
Dan kemudian datanglah lamaran ke-819.
Kali ini bukan perusahaan lokal yang menjawab.
Tapi sebuah perusahaan asing.
Mereka tidak tanya usianya.
Tidak peduli ia pernah menganggur 3 tahun.
Mereka hanya melihat karyanya.
Dan mereka menerimanya—memberinya posisi yang lebih tinggi, gaji tiga kali lipat, fasilitas yang membuatnya bisa bernapas lega lagi.
Raka menutup ceritanya dengan suara yang bergetar, namun matanya berbinar.
“Lamaran ke-819 diterima.
Bukan oleh perusahaan di negeri ini yang sibuk pamer postingan tentang diversity & inclusion.
Tapi oleh perusahaan asing yang bahkan tak pakai tagline ‘open minded’.
Mereka tidak menanyakan kenapa saya di atas 40.
Mereka hanya menanyakan apa yang bisa saya kerjakan.
Dan mereka membayar saya dengan harga yang pantas.”
Ia tersenyum pahit.
“Mungkin benar, kadang untuk dihargai, kita harus pergi dulu.”
Bagi mereka yang masih berjuang, ia punya satu pesan:
“Jangan menyerah.
Siapa tahu lamaran ke-819-mu adalah yang mengubah hidupmu.”
Image by Manuel Alvarez from Pixabay