Posted in

Lelaki yang Pergi dengan Luka

Lelaki yang Pergi dengan Luka
Lelaki yang Pergi dengan Luka

Hari itu, aku menangis. Bukan karena berita pemerintahan yang sering gaduh di televisi, tapi karena sesuatu yang jauh lebih dekat. Tentang seorang tetangga, seorang lelaki paruh baya berusia enam puluhan, sebut saja namanya Darmo.

Darmo bekerja sebagai tukang urut. Kadang dipanggil warga untuk pekerjaan kasar lain, apa saja yang bisa menghasilkan uang halal. Ia tinggal di salah satu kontrakan milik bapakku, bersama istri dan anak-anaknya. Hidup mereka tampak sederhana, tapi bahagia. Tak pernah terdengar kabar cekcok apalagi KDRT.

Darmo tinggi, berisi, tegap, wajahnya juga lumayan. Orang bilang suaranya merdu, dan benar saja—setelah selesai memijat, ia sering diminta bapak untuk menemani berkaraoke. Bayaran kontrakan pun selalu ia lunasi tepat waktu, bahkan kadang lebih cepat.

Tapi semua berubah suatu hari.
Saat dipanggil untuk memijat, wajah Darmo tampak kusut. Ia tak banyak bicara, dan menolak ketika bapak mengajaknya bernyanyi seperti biasanya. Sejak hari itu, ia selalu seperti itu: pendiam, jauh dari ceria. Bapak yang peka akhirnya mengajaknya duduk lama di gazebo depan rumah, sambil menyeruput kopi. Aku yang biasanya disuruh mengunci pagar, malah diminta tidur duluan malam itu. Sepertinya ada obrolan panjang yang tak pantas kudengar.

Keesokan harinya, Darmo datang. Katanya, ia mau pindah dari kontrakan. Bapak hanya mengangguk, tanpa bertanya banyak.

Setelah pindah, ia masih sering dipanggil bapak untuk mengurut. Tapi fisiknya makin hari makin menyusut, raut wajahnya lebih sering muram. Hingga akhirnya kami tahu: ia digugat cerai istrinya. Sejak keluar dari kontrakan itu, ternyata ia tak lagi punya tempat tinggal. Tidur di mana saja, berpindah-pindah. Warga kemudian memberinya izin tinggal di madrasah dekat masjid.

See also  Dih, Apaan Sih?

Tapi kesedihannya kian dalam. Suatu hari, sakit pinggang menyeretnya ke rumah sakit. Ginjalnya bermasalah. Ibuku, yang iba, berkata pada bapak:
“Cobalah hubungi istrinya, kasihan Darmo sendirian begini.”
Tapi Darmo menolak. “Percuma, Pak. Dia sudah tidak peduli lagi.”

Ibu bersuara lirih:
“Kalau bukan istri, anak-anaknya pasti masih peduli. Tidak ada anak yang tega melihat bapaknya begini.”

Sayangnya, harapan itu pupus. Setelah alamat istrinya didapatkan, tidak satu pun yang datang menjenguk, bahkan setelah diberi kabar sakitnya. Seakan ikatan keluarga yang dulu hangat, sudah tercerabut entah ke mana.

Ada desas-desus beredar: sang istri berubah sejak menghadiri reuni sekolahnya. Katanya, dulu ia primadona: cantik, pintar, banyak penggemar. Teman-teman lamanya mencibir, “Masa suami kau hanya tukang urut?” Sejak itu, hatinya dingin pada suaminya. Dan Darmo, lelaki sederhana itu, tak sanggup membendung retaknya rumah tangga.

Hari demi hari, Darmo makin rapuh. Ia bertahan hidup dari pekerjaan serabutan, kadang makan seadanya. Sesekali bapak menawarinya makanan, tapi ia menolak terus-menerus. “Malu, Pak, kalau sering makan di sini.”

Sampai akhirnya, kabar itu datang pada 2 Agustus, pukul 03.00 dini hari.
Darmo meninggal dunia.

Kami sekeluarga kaget, teringat betul empat hari sebelumnya ia masih membantu bapak memperbaiki toren air. Bahkan sempat tersenyum padaku yang sedang menggendong anakku. Dengan wajah berbinar ia berkata:
“Cucu keduaku juga akan lahir dua minggu lagi.”

Sayangnya, ia tak pernah sempat melihat wajah cucu yang ia tunggu dengan bahagia itu. Allah lebih dulu memanggilnya pulang.


Cerita Darmo meninggalkan pelajaran yang berat: bahwa cinta bisa hancur hanya karena bisikan dunia, bahwa lelaki yang terlihat tegar pun bisa runtuh dalam sunyi, dan bahwa tidak semua reuni membawa kebahagiaan.

See also  Nama di Atas Kertas

Dan aku menangis, bukan hanya karena kepergian Darmo, tapi juga karena kenyataan betapa sepi perjalanan hidup seorang lelaki bisa berakhir.


Photo by Dalelan Anderson on Unsplash