Posted in

Lima Tahun Bersamanya

Lima Tahun Bersamanya
Lima Tahun Bersamanya

Aku tak pernah menyangka, pertemuan singkat di sebuah lingkaran pertemanan bisa menyeretku ke dalam cerita paling panjang dan paling menyakitkan dalam hidupku. Dia bukan tipeku sama sekali. Terlalu santun, terlalu tenang, seolah tak punya sisi liar. Sementara aku… urakan, keras kepala, hidup tanpa aturan. Teman-temanku bahkan sempat heran, kenapa aku bisa jatuh hati pada orang seperti dia. Tapi entah bagaimana, aku tetap memilihnya.

Kami memulai hubungan dari titik nol. Dia baru saja meniti karir, gajinya belum seberapa. Dan aku—yang lebih dulu mapan—tak keberatan menanggung kebutuhan kami berdua. Aku percaya, pasangan seharusnya saling menopang. Dan aku bahagia melakukannya.

Tahun-tahun berikutnya karirnya meroket. Job luar kota, luar negeri, klien-klien besar, bahkan kalangan artis dan pejabat. Aku bangga. Karena di balik semua itu, ada aku yang selalu mendukung. Aku rela berada di belakang layar. Dari menyiapkan makanannya, memilih pakaiannya, sampai menjawab email klien dalam bahasa Inggris—semua aku yang kerjakan.

Sampai satu malam, semua runtuh.
Dia bilang ada rapat hingga larut. Bahkan jam 8 malam dia masih sempat menelpon lewat video call dari ruang meeting. Aku percaya sepenuhnya. Tapi dini hari saat dia pulang, tubuhnya lelah dan aku, seperti biasa, menyambut dengan teh hangat dan pijatan.

Esok paginya, entah dorongan apa yang membuatku membuka laptopnya. Password-nya aku hafal. Dan di sanalah dunia yang selama ini dia sembunyikan terbuka lebar. History perjalanan, bukti booking hotel, catatan yang tak bisa dibantah. Malam itu dia bukan pulang dari rapat. Malam itu dia pulang dari tubuh perempuan lain.

Tanganku gemetar. Jantungku seakan pecah. Dan ternyata, itu bukan sekali dua kali. Sudah berkali-kali. Aku bangunkan dia, aku pukuli, aku menangis, tapi dia tetap mengelak. Semua hanya “bookingan teman”, katanya. Dan sejak saat itu, dia semakin pandai menutup rapat jejaknya.

See also  Yang Tersisa untuk Sera

Aku mencoba pergi, mencoba menjauh, bahkan sempat pindah kota. Tapi dia selalu berhasil menarikku kembali. Dengan maaf, dengan rayuan, dengan janji kosong. Dan aku, yang masih buta oleh cinta, selalu luluh.

Tapi pola itu tak pernah berhenti. Setiap perjalanan dinas berarti pijat plus-plus, setiap diam berarti ada pesan rahasia. Aku mulai jijik, tapi entah kenapa tetap bertahan. Sementara dia semakin dingin, semakin jauh, semakin tak peduli. Hingga di titik tertentu, aku tak lagi merasa hidup di sisinya. Aku hanya bayangan yang terus menunggu kepastian.

Pernah suatu kali dia jatuh sakit, aku yang merawatnya sepenuh hati, dari IGD subuh hingga pulang siang. Tapi hanya beberapa jam kemudian, dia sudah sibuk video call mesum dengan perempuan lain. Luka itu menancap terlalu dalam, sampai aku mulai merasa gila.

Puncaknya, ketika dia kembali dari luar negeri dengan penyakit menular. Dokter bilang: gonorea. Aku marah, aku menjerit, tapi lagi-lagi dia menyangkal. Katanya hanya karena air yang kotor. Tapi aku tahu, tubuhnya membawa bukti perselingkuhannya. Bahkan tubuhku pun ikut menanggung akibatnya.

Lima tahun. Lima tahun penuh janji palsu, manipulasi, dan pengkhianatan. Lima tahun yang membuatku kehilangan diriku sendiri. Aku tak tahu lagi siapa diriku selain bayangan yang selalu menunggu cintanya yang tak pernah benar-benar ada.

Aku bertanya-tanya, mengapa aku bisa sebodoh itu? Mengapa aku begitu mudah luluh? Mengapa, meski disakiti berkali-kali, aku masih ingin memaafkan dia?

Mungkin karena cinta. Atau mungkin karena aku sudah kehilangan cinta pada diriku sendiri.


Photo by Alex Shute on Unsplash