Memasuki tahun 2020 hidup saya dan keluarga seperti orang pada umumnya. Kami punya banyak rencana yang ingin kami wujudkan di tahun ini.
Dua rencana besar sudah terlaksana dengan baik : lamaran adik ketiga saya dan lamaran adik sepupu. Namun sekejap badai datang, mengoyak kedamaian segala musnah lalu gerimis langit pun menangis…Iya, itu lirik lagunya KLA Project yang judulnya Gerimis. Haha.
Jadi, pertama kali saya mendengar tentang outbreak COVID 19 di Wuhan adalah sekitar bulan Desember 2019. Tapi waktu itu kekhawatiran belum hadir karena pertama, menurut saya China itu jauh, jadi agak skeptis si virus bisa nyampe ke Indonesia dengan selamat (yes I know people do mobile, dan apapun bisa sampai ke Indo. Tapi ini dasar sayanya aja yang denial, sih)
Kedua, karena seumur hidup belum pernah mengalami situasi outbreak, saya ngerasa kok kayag di film-film aja. Btw film yang cukup relevan dengan kondisi sekarang (yang pernah saya tonton) judulnya Contagion. Udah pernah nonton? kalau belum, coba ditonton deh. Lumayan ceritanya hepi ending *maap spoiler.
Ketiga, seumur hidup tinggal di Bumi, Bumi dengan wabah bukanlah dunia yang saya tempati. Ya memang dulu sempat heboh SARS hingga Flu Burung. Tapi ga pernah situasinya seperti sekarang ini.
Jadi ketika saya nonton tv yang bilang kalau wabah ini SUDAH ADA di Indonesia. Rasanya kayag ada yang maksain masukin pil pahit ke mulut saya dan suruh saya kunyah dengan segera. Rasanya Pahit. Pahit banget.
Since then, our life has been changed. Berikut adalah beberapa yang bisa saya catat.
Was Was di Rumah Sakit
Apalah daya malah kena DBD. Akhirnya masuk RS dari tanggal 17 kemarin 🙁
Di RS Hermina Palembang per 17 Maret pintu lobby dijaga, karena RS tidak menerima pembesuk.
Akses pintu bangsal pun dikunci, yg mau lewat keluar masuk bangsal harus lapor dulu ke perawat yg bertugas. https://t.co/pWb7wPbHIR pic.twitter.com/Ozcy8EZeEa
— Nina (@bonadapa) March 18, 2020
Qadarullah, ketetapan dari Allah tidak bisa kita tolak. Di Pertengahan Maret kami sakit sekeluarga. Setelah Bapaknya, kemudian anak-anak. Saya yang tadinya sehat-sehat aja malah dapet jatah sakit paling terakhir.
Saya tiba-tiba panas tinggi, menggigil, batuk dan pilek. Akhirnya saya dan Raifa (anak saya yang nomor dua yang masih sakit barengan saya ketika yang lain sudah sembuh) pergi berobat ke RS. Dan setelah diperiksa, dokter menyarankan untuk kami berdua dirawat di RS Hermina Palembang karena DBD.
Saya terus terang khawatir. Banget.
Di tengah wabah yang merebak, kami malah harus stay di tempat yang paling kami hindari untuk saat ini.
Tapi saya tipe orang yang ga mau bantah kata dokter. Kalau katanya harus dirawat, ya berarti memang harus dirawat. Dan jadilah kami dirawat 4 hari di RS, satu kamar berdua ibu dan anak.
Dirawat di RS ya biasa. Yang ga biasa itu suasananya.
Sedikit banyak saya bisa merasakan aura was-was dari petugas RS. Dan menurut saya ini wajar karena mereka berada di posisi paling rentan dalam kondisi wabah ini. Namun demikian, para petugas tenaga kesehatan (nakes) tetap bekerja dengan dedikasi yang tinggi. Salut untuk Anda semua!
Karena wabah juga, RS Hermina Palembang per 17 Maret 2020 tidak menerima pembesuk. Saking ketatnya peraturan ini, satu satpam dan satu perawat wanita memeriksa tiap kamar sehari dua kali, untuk memastikan bahwa pasien tidak dikunjungi dan hanya ditemani satu orang saja.
Mama saya, sempat datang ke RS lalu disuruh pulang sama Pak Satpam. Usia Mama memang sudah enam puluhan jadi benar-benar tidak diperkenankan untuk membesuk. Jadilah Mama datang, dihadang satpam di lobby, akhirnya mama menitipkan makanan untuk kami ke Ibu saya (yang sedang jaga saya di RS, turun ke lobby untuk ketemu Mama) terus langsung pulang 🙁
Jadi selama di RS ga ada yang besuk nin?
Ada beberapa orang, tapi mentok cuma sampe lobby terus disuruh pulang sama Pak Satpam.
Di satu sisi saya& Raifa merasa agak kesepian karena terutama ga bisa ketemu Abang & Adek, keluarga besar saya yang ramai dan seru itu – yang biasanya ga pernah absen hadir kalau kami lagi kesusahan. Tapi di sisi lain – jujurnya – saya lega nggak dibesuk dan merasa gapapa banget. Karena itu artinya baik saya, Raifa dan orang-orang yang berniat berkunjung, bisa menjaga kesehatan dengan lebih baik lagi untuk menghindari Corona yang tak kasat mata ini.
Karena Corona ini cukup seram. Penderita bisa terlihat sehat, tapi ternyata carrier (pembawa virus). Si carrier (karena tidak merasa sakit) tetap bisa beraktivitas seperti biasa dan tanpa sadar bisa menularkan virus ke orang lain. 🙁
Anak-anak Tidak Pergi ke Sekolah
Semenjak Corona merebak di Indonesia, Sekolah di Palembang langsung diliburkan. Abang dan Kakak bahkan harus libur dadakan meskipun notabene sedang ujian. Sejak itu, mereka seperti anak-anak yang homeschooling, belajar di rumah saja.
Tiap hari anak-anak belajar secara online dan wali kelas akan memantau sudah sejauh mana pelajaran mereka pelajari di rumah. Jadi meskipun ga sekolah, anak-anak tetap belajar, tetap mengerjakan tugas, tetap harus setor hafalan.
Tapi ada yang hepi Abang dan Kakak enggak sekolah. Siapa lagi kalau bukan si Adek. Karena biasanya dia sepi di rumah, sekarang ramai. Karena kalau masih sekolah, Abang dan Kakak pulang sekolahnya sore. Sampai di rumah terus tidur. Adek manyun karena ga ada yang bisa diajak main.
Sekarang Adek bisa bablas ngajak main Abang dan Kakak seharian. Tapi tetep skip kalau Abang dan Kakak sedang belajar online dengan gurunya, hahaha.
Sampai saat ini libur anak-anak terus diperpanjang. Kabar terakhir tanggal 27 April 2020 baru masuk, ga tau deh kalau nanti diperpanjang lagi.
Stay at Home
Semenjak pemerintah menerapkan physical distancing pada medio Maret, kami sekeluarga berusaha menjalankannya dengan tertib. Ga ada lagi jalan-jalan di waktu wiken, ga ada lagi hangout di mall, ga ada lagi bergaul dengan tetangga sekitar komplek.
Untuk saya, itu berarti ga ada lagi kegiatan bersama teman-teman Blogger Palembang Kumpul, nggak ke acara-acara komunitas, nggak menghadiri event, nggak pergi ke pasar tradisional.
Jadi belanja kemana? Saya belanja di warung tetangga. Alhamdulillah tetangga di sini ada yang berjualan lauk dan sayur mayur mentah. Bagi Saya (dan suami) di saat wabah seperti ini jelas lebih enak belanja ke warung aja, karena lebih sepi dan lebih bisa diantisipasi untuk bertemu banyak orang.
Nggak lupa pula kalau terpaksa banget keluar rumah, saya menggunakan masker dan jaga jarak dengan orang-orang, sesuai dengan aturan Physical Distancing yang disarankan pemerintah.
Palembang Terlihat Sepi
Orang-orang di Palembang saya perhatikan sebagian besar cukup tinggi kesadaran akan Corona. Setidaknya di komplek saya orang-orang memilih untuk stay at home, dan jarang berkumpul. Biasanya pagi ada yang suka ngumpul-ngumpul sambil belanja sayur, sekarang tetep beli sayur sih, cuma ga lama-lama dan pada pake masker.
Untuk Palembang jalanan jadi lebih lengang, mall juga jadi lebih sepi. Meskipun kemarin ketika saya naik mobil saya masih melihat ada orang-orang yang dengan santainya beraktivitas tanpa menerapkan physical distancing, dan ga pake masker pulak.
Kesininya, WFH (work from home) jadi ngetop seiring banyak perusahaan yang membolehkan pegawainya kerja dari rumah. Tapi yang masih kerja di kantor juga banyak, contohnya suami saya yang ga mungkin pabriknya shut down. Cuma kantor suami menetapkan schedule yang lebih fleksibel, 14 hari kerja, 14 hari libur.
Sedangkan saya? meskipun udah kerja remote sejak 3 tahun yang lalu, tapi semenjak anak-anak sekolah di rumah, saya jadi harus pinter-pinter bagi waktu. Karena secara ga langsung sekarang kan saya gurunya, ya. Jadi saya harus lebih pintar-pintar membagi waktu antara kerjaan, pekerjaan rumah tangga dan jadi guru anak-anak.
Mudah-mudahan anaknya sabar dengan bundanya yang jadi guru dadakan ini sih, hehe.
Stigma
Wabah ini ujian untuk kita semua; ujian menjaga kesehatan, ujian menjaga kebersihan, ujian kepedulian, juga ujian kemanusiaan.
Ujian menjaga kesehatan. Kita jadi harus memperhatikan kesehatan kita lebih baik lagi. Makan-makanan bergizi, minum vitamin, jamu, berjemur, supaya imun kuat dan ga mudah sakit.
Ujian menjaga kebersihan. Kita jadi rajin cuci tangan, langsung ganti baju kalau dari luar, ga sembarangan salaman dan jaga jarak dengan orang.
Ujian kepedulian. Yang (merasa) sehat harus peduli ga bisa seenak-enaknya keluar rumah untuk bergaul karena siapa tahu kalau kita carrier jadi menerapkan physical distancing lebih aman. Yang sakit harus peduli untuk karantina diri dulu, biar virusnya ga menyebar. Yang baru pulang dari LN atau dari luar kota harus peduli karantina diri dulu selama 14 hari memastikan kalau kita ga membawa ‘oleh-oleh’ virus yang bisa menular ke siapa saja. Kita semua juga harus peduli untuk ‘menunda’ ke RS kalau tidak mendesak agar nakes tidak kewalahan menangani pasien yang membludak.
lalu bagaimana dengan ujian kemanusiaan?
Semenjak Corona ada banyak saluran penggalangan dana dibuka. Yang terutama untuk APD (Alat Perlindungan Diri) untuk nakes yang bertugas.
Tapi saya sedih juga akan stigma yang terbentuk di oknum masyarakat. Kemarin di berita saya membaca kalau ada orang yang dikucilkan karena virus ini. Ada juga satu keluarga dikucilkan karena sakit wabah ini. Bahkan terjadi pengusiran nakes dari tempat tinggalnya, ada juga pengusiran makam untuk korban Corona.
Waspada sih boleh, ya. Tapi jangan sampai mengikis rasa kemanusiaan. Jangan tega mengucilkan, membully, mengusir-ngusir orang yang sakit, orang yang sedang berjuang (seperti nakes) atau korban Corona yang sedang sakit dan sudah meninggal. Kalau kita yang berada di kondisi seperti mereka, apa kita mau kalau diperlakukan seperti itu?
Tinggikan empati. Semua orang tentu tidak mau sakit atau terkena wabah. Sebagai yang sehat, seharusnya kita pikirkan apa yang bisa kita bantu untuk mereka, permudah urusannya. Bantu mereka yang kesusahan bukan malah nambahin kesusahan mereka.
Saya percaya ada lebih banyak masyarakat di luar sana yang tidak akan bersikap seperti stigma buruk di atas, dan terus berbuat kebaikan untuk sesamanya.
Seterusnya…
Seterusnya saya nggak tahu bisa seburuk apa penyebaran Covid 19 ini di Indonesia. Salah satu dokter bilang di twitter kalau sekarang baru setengah jalan menuju tanjakan dan menurut saya juga benar. Bulan April masyarakat Indonesia akan bertemu Ramadan, terus lebaran.
Ada orang-orangnya yang ga peduli apa itu Corona, apa dampaknya ke masyarakat, yang penting doi mudik dan hati senang. Mereka ga mau tau bahwa bisa aja mereka bawa oleh-oleh penyakit ke kampung halaman. Saya khawatir akan kondisi setelah lebaran. Tapi mudah-mudahan ketakutan saya ga terbukti dan Covid 19 ini bisa buru-buru pergi dari Indonesia.
Pada akhirnya, teman-teman jaga kesehatan ya. Semoga kita semua tetap sehat-sehat dan bisa melewati masa-masa sulit ini dengan penuh keikhlasan dan kesabaran. Karena setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Hopefully, this too shall pass. Aamiin YRA.
1 Komentar. Leave new
[…] Baca juga : Living Our Life in The Middle of Outbreak […]