Posted in

Luka yang Tak Terlihat, Langkah yang Tetap Berjalan

Luka yang Tak Terlihat, Langkah yang Tetap Berjalan
Luka yang Tak Terlihat, Langkah yang Tetap Berjalan

Aku tak pernah menyangka hidupku akan seperti ini.

Di usia 27 tahun, dengan satu toddler yang manis di rumah, aku merasa dunia runtuh berkali-kali di atas pundakku. Padahal dulu, saat menikah dengan dia, rasanya seperti mimpi yang jadi nyata. Dia berasal dari keluarga berada, aku dari keluarga sederhana. Dia dibesarkan penuh kasih sayang dan selalu dituruti, aku belajar dari kecil untuk mandiri, untuk berjuang sendiri. Aku pikir, perbedaan kami akan saling melengkapi.

Awalnya begitu. Dua tahun pertama pernikahan kami penuh kompromi kecil, penuh canda anak pertama, penuh harapan baru. Suamiku, yang saat itu masih merintis bisnis, akhirnya memutuskan jadi pegawai honorer di instansi pemerintah. Gajinya kecil, tapi mertuaku selalu siap membantu, terutama untuk keperluan dapur dan anak. Aku tak masalah. Aku malah ikut melamar-lamar kerja, seperti yang dulu kami sepakati kalau anak sudah agak besar, kami akan sama-sama bekerja.

Tapi masalah-masalah kecil mulai muncul.

Janji berhenti merokok yang dilanggarnya, rasa malas bangun pagi, keluhan yang tak ada habisnya. Dan, yang paling menusuk hati: dia mulai dekat dengan perempuan lain — seorang janda di kantornya.

Awalnya aku tahu dari notifikasi WhatsApp yang terus berbunyi, bukan sengaja mengintip. Chat-chat itu terlalu mesra untuk sekadar “teman curhat”. Foto selfie berdua, makan siang duduk berdampingan, chat yang disembunyikan, ajakan-ajakan ketemuan. Dan yang paling membuatku muak adalah bagaimana teman-teman kantornya mendukung mereka, seakan tak ada yang salah.

Aku marah besar. Konfrontasi terjadi. Si janda berdalih tak ada apa-apa, tapi jelas-jelas dia menikmati perhatian suamiku. Lalu, seperti jatuh tertimpa tangga, aku ditipu ratusan juta oleh teman bisnis konveksi. Ditambah anakku masuk rumah sakit karena ISK. Rasanya saat itu aku ingin menyerah.

See also  Makeup, Selingkuh, dan Calypsa

Aku cerita ke mertua, berharap mendapat dukungan. Tapi yang kudapat justru tamparan: aku disalahkan karena “terlalu kepo” pada ponsel suami. Katanya, itu hanya karakter suamiku yang ramah. Padahal aku tak pernah cemburu saat dia dinas keluar kota dengan staf perempuan lain. Tapi yang ini? Mesra, terang-terangan, diluar batas.

Hanya ibuku yang memelukku tanpa syarat. Beliau berkata aku harus tegas pada suami. Kalau pun aku ingin bercerai, beliau siap menerimaku pulang kapan saja. Beliau bahkan membantu melunasi sebagian hutangku, sambil memberi doa tanpa putus.

Beberapa bulan kemudian, si janda akhirnya menikah dengan orang lain. Sekilas aku lega. Tapi kenyataannya, suamiku masih juga ketahuan menyembunyikan chat, masih juga merespon perhatian kecil dari lingkaran toxic yang selalu menggoda.

Sampai suatu hari aku tak tahan lagi. Aku chat langsung si janda. Ribut besar terjadi. Semua kantor tahu. Bahkan suami si janda pun tahu. Mereka berdua akhirnya datang ke rumahku, meminta maaf. Tapi gosip dan bisik-bisik di kantor tak berhenti. Beberapa hari kemudian, suamiku dipanggil atasan dan akhirnya memutuskan resign.

Dia menangis, memohon maaf padaku, berjanji akan memperbaiki semuanya. Dan aku? Entah. Hatiku tak utuh lagi, tapi aku memilih untuk melangkah. Untuk anakku. Untuk diriku sendiri.

Sejak itu, aku pelan-pelan bangkit. Doa ibuku jadi bahan bakarku. Sambil terus mencari pekerjaan, aku mencoba apapun untuk tetap menghasilkan uang sendiri. Aku daftar jadi affiliate, dan alhamdulillah, sedikit demi sedikit hasilnya cukup. Setidaknya aku punya pegangan kalau sesuatu terjadi lagi.

Lukaku belum sembuh. Tapi hidup tak pernah menunggu kita sembuh untuk terus berjalan, bukan?

Jadi aku berjalan.
Perlahan.
Tapi pasti.

See also  Satu Rekening, Dua Wajah (Part 1)

Photo by Aleh Tsikhanau on Unsplash