Pagi itu rumah Santi disambangi tetangganya, Bu Rina. Dengan wajah ramah, Bu Rina menyapa sambil sedikit tersengal.
“Eh, Santi… boleh nggak anakmu yang kecil ikut kami berenang? Kebetulan keponakan-keponakan lagi ngumpul, rame nih,” ujarnya.
Santi kaget juga. Dari tiga anaknya, cuma si bungsu yang diminta ikut. Dalam hati ia sempat heran, “Tumben banget mereka ngajak anakku.” Tapi karena si kecil tampak senang diajak, Santi mengiyakan saja.
“Ya sudah, gapapa. Hati-hati ya di jalan,” katanya sambil tersenyum.
Tak lama kemudian, Bu Rina kembali ke pagar rumahnya. Tapi beberapa menit kemudian ia balik lagi, kali ini dengan nada canggung.
“Eh, Santi… boleh nggak pinjem mobilmu? Soalnya keluargaku banyak banget yang ikut, mobil kami nggak cukup.”
Santi sempat ragu, tapi akhirnya ia luluh juga. “Ya udah deh, cuma jangan lama-lama ya, besok aku pakai.”
Siang berlalu. Menjelang sore, mobilnya akhirnya kembali ke rumah. Anaknya turun dengan wajah capek dan lesu.
“Bu… capek banget. Tadi berenangnya jauh banget… luar kota. Duduknya juga sempit, penuh orang.”
Santi langsung terkejut.
“Luar kota?! Duduknya sempit?!” pikirnya. Setelah mobilnya diparkir, ia mengintip indikator bahan bakar. BBM-nya nyaris habis—dan tidak diganti sama sekali.
Baru saat itu Santi sadar. Ia merasa sudah dikerjai.
Ternyata tujuan Bu Rina lebih ke mobilnya daripada ngajak anaknya jalan-jalan. Anaknya hanya jadi alasan.
Sambil menghela napas panjang, Santi bergumam dalam hati, “Kapok aku. Nggak lagi-lagi deh minjemin mobil cuma gara-gara dalih ngajak anakku.”
Photo by Humphrey M on Unsplash