Di suatu sore yang teduh, pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal masuk ke ponsel Dara. Sudah lebih dari sepuluh tahun ia tak mendengar nama itu lagi: Bagas.
Dulu mereka cukup dekat di masa kuliah di Surabaya, lalu seperti kebanyakan hubungan pertemanan lama, terputus begitu saja oleh waktu, jarak, dan prioritas hidup masing-masing.
“Dara, aku Bagas. Maaf tiba-tiba ngehubungin. Kamu sehat? Sekarang aku di Bali. Boleh aku telepon?”
Dara agak terkejut, tapi membalas sopan. Bagas pun mulai bercerita panjang lebar lewat chat tentang hidupnya yang kini, dengan nada getir yang membuat hati Dara sesak.
Bagas ternyata kehilangan segalanya. Adik kandungnya meninggal duluan karena sakit keras. Setahun kemudian, kakak sulungnya menyusul karena kecelakaan. Tahun berikutnya, ayahnya juga pergi. Lalu rumah tangganya pun runtuh: istrinya menghabiskan seluruh tabungan mereka, menghancurkan usaha kecilnya, berselingkuh, dan menggugat cerai. Ibunya, yang tak kuat menanggung semua itu, mengalami depresi berat, menjual semua harta, lalu pergi entah ke mana tanpa kabar.
Hidup Bagas seperti kisah Ayub, pikir Dara — hanya ia yang masih berdiri di antara puing-puing. Sekarang ia di Bali, bekerja serabutan, mencoba bangkit dari nol.
“Dara… aku mau minta tolong. Boleh pinjam namamu buat kredit motor? Surat-suratku belum lengkap, KK setelah cerai aja aku ga pegang. Mantan cuma kirim fotonya lalu blokir aku. Kalau nggak ada motor, susah banget kerja di sini. Tolong ya, sekali ini aja.”
Dara terdiam lama membaca pesan itu. Dia tahu persis resiko “meminjamkan nama”. Trauma lama kembali menghantui: dulu ia pernah membantu orang lain dengan cara serupa, dan ujung-ujungnya dialah yang harus melunasi hutang orang itu karena yang bersangkutan kabur begitu saja.
Selama dua hari Dara tidak membalas pesan Bagas. Ia ragu, galau, dan bimbang. Ia sempat berdiskusi dengan suaminya. Dan dengan berat hati, akhirnya ia memilih menolak.
“Bagas… maaf banget. Aku ga bisa bantu. Suamiku juga keberatan. Aku harap kamu bisa ngerti ya. Semoga Tuhan kasih jalan buat kamu.”
Tak lama kemudian, balasan dari Bagas datang.
“Oh… ya sudah. Ga ada yang mau bantu ya. Padahal kita sama-sama ke gereja.”
Mata Dara terasa panas membaca kalimat itu. Kenapa harus membawa-bawa gereja? Kenapa iman dan kepercayaan dijadikan tameng untuk memaksa?
Dara teringat jelas, bahkan hanya dua hari lalu sebelum Bagas meminta tolong, saat ia menanyakan di mana Bagas bergereja sekarang, jawabannya begitu pahit:
“Tuhan itu kayaknya nggak ada deh. Orang-orang zaman sekarang pada nggak percaya agama, nggak percaya Tuhan.”
Dara menggenggam ponselnya erat, berusaha menahan perasaan campur aduk: sedih, marah, dan iba bercampur jadi satu. Bagas memang malang, dan hidupnya begitu penuh luka. Tapi Dara juga harus menjaga dirinya sendiri. Menjaga keluarganya sendiri.
Kadang, kita hanya bisa mendoakan seseorang dari jauh. Tak selalu bisa ikut tenggelam bersama mereka dalam kesulitan, apalagi kalau kita tahu kita tidak sanggup berenang.
Dara menatap langit senja di luar jendela, menggumam pelan.
“Tuhan, tolong jaga dia… meski aku nggak bisa.”
Photo by Leon Andov on Unsplash