Posted in

Ruangan di Ujung Kantor

Ruangan di Ujung Kantor
Ruangan di Ujung Kantor

Umur tiga tahun, Kenan tidak tahu banyak tentang dunia. Ia hanya tahu bahwa ayahnya, Raga, sering berada di kantor percetakan miliknya. Hari itu, Kenan sedang mencari ayahnya. Dengan polos ia membuka pintu ruangan di ujung kantor.

Yang ia lihat membuatnya terdiam. Raga sedang bersama seorang perempuan—bukan ibunya. Mereka seperti sedang berkelahi, tubuh mereka saling tindih di atas kasur yang ternyata memang ada di ruangan itu.

Belum sempat Kenan bertanya, Raga membentaknya dan mengusirnya keluar. Anak kecil itu hanya bisa mundur, bingung, lalu menangis pelan.

Paman-pamannya—dua adik dari ibunya yang juga bekerja di sana—melihat semua itu, tapi tak ada satu pun yang berani bicara. Kenan tumbuh dengan ingatan itu tersimpan rapi di kepalanya. Aneh, meski ia masih kecil saat itu, kenangan itu tidak pernah pudar.

Tahun demi tahun berlalu. Raga dan ibunya bercerai. Raga menikah lagi, bahkan dua kali. Kenan sudah berhenti menghitung berapa kali ayahnya berselingkuh. Yang ia tahu, ayahnya tidak pernah benar-benar hadir. Nafkah untuk anak-anaknya pun tidak ia berikan.

Suatu hari, ketika Kenan sudah dewasa dan bekerja, Raga datang meminta uang. Katanya, untuk berobat. Dengan sisa kasih yang entah dari mana datangnya, Kenan memberikan sejumlah uang. Namun kemudian ia tahu, uang itu bukan untuk biaya pengobatan, melainkan diberikan kepada istri barunya.

Sejak saat itu, Kenan memutuskan. Tidak ada lagi ruang bagi Raga dalam hidupnya.

“Bahkan kalau dia meninggal pun,” pikir Kenan suatu malam, “aku tidak akan datang ke makamnya.”

Dan itu bukan ucapan kosong. Itu prinsip. Prinsip yang ia pegang erat sejak umur tiga tahun, sejak hari ia membuka pintu ruangan di ujung kantor itu.

See also  A Prayer Answered Beautifully

Photo by Toa Heftiba on Unsplash