Posted in

Senja untuk Aisyah

Senja untuk Aisyah
Senja untuk Aisyah

Aisyah adalah perempuan tangguh. Seorang ibu tunggal yang membesarkan putrinya sendiri setelah berpisah dari suami pertamanya. Dalam sunyi malam yang panjang, ia temukan kembali ketenangan dalam iman. Ia mulai rajin menghadiri kajian, memperdalam pemahaman Islam, dan menata ulang hidupnya dengan semangat baru.

Aisyah bukan perempuan lemah. Ia mandiri secara finansial, mengelola usaha kecil, dan hidup secukupnya namun penuh syukur. Dalam lingkar kajian itu, ia mengenal sosok-sosok yang mengajaknya lebih dalam menelusuri jalan syariat. Salah satunya: poligami.

Awalnya Aisyah hanya mendengar kisah-kisah. Tentang betapa indahnya berbagi suami, tentang betapa poligami bisa menjadi bentuk cinta yang lebih besar, lebih suci. Lalu perlahan, tawaran itu datang. Seorang ikhwan mapan, cerdas, dan tampak bijak—mengajaknya menjadi istri kedua. Sang istri pertama bahkan menyetujui. Mereka datang bersama, menyampaikan maksud, menyebut nama Allah di sela-sela kalimat.

Aisyah ragu. Tapi juga tersentuh. Ia berpikir, mungkin ini jalanku. Mungkin ini bagian dari hijrahku…

Akhirnya ia menerima.

Namun apa yang ia sangka jalan menuju ridha Allah, berubah menjadi jalan sepi dan menyakitkan.

Aisyah tak pernah meminta banyak. Ia tahu posisinya istri kedua. Ia tak menuntut lebih. Tapi hampir setiap malam yang seharusnya jadi jatahnya, terganggu oleh telepon dan pesan dari istri pertama. Selalu dengan alasan anak-anak. Kadang, hanya untuk menanyakan apakah suaminya sudah makan.

Lama-lama Aisyah sadar. Ia bukanlah pasangan. Ia adalah pelengkap strategi. Karena kenyataannya, pernikahan itu bukanlah tentang membangun cinta baru. Tapi proyek rekonsiliasi pasangan lama yang nyaris runtuh. Istri pertama merasa dirinya pahlawan karena “mengikhlaskan” poligami, padahal ia ingin suaminya kembali mencintainya dengan lebih bergelora.

Dan sang suami? Ia puas. Karena ternyata, dirinya tetap yang paling diinginkan. Ia membandingkan dua istri dan merasa menang.

See also  Rumah Tangga Dua Dunia

Sementara Aisyah? Ia makin jarang ditemui. Nafkah terabaikan. Cinta tak pernah tumbuh, hanya kewajiban yang tersisa. Ia mulai sakit. Penyakit lamanya kembali. Kanker yang dulu sempat reda, kembali menyerang tubuh dan jiwanya.

Dalam sakitnya, ia bertarung sendiri. Suaminya menghilang. Istri pertama bahkan menyebutnya “beban.” Hingga akhirnya, sebuah surat datang. Bukan dari suami, tapi dari pengacara. Isinya gugatan cerai.

Aisyah hanya tersenyum pahit. Ia tahu, ini akhir dari kesabarannya. Ia tak melawan. Ia tanda tangani surat itu.

Beberapa bulan kemudian, Aisyah meninggal dunia. Dalam damai. Dalam diam. Tapi juga dalam luka yang tak pernah benar-benar sembuh.

Banyak orang mengenangnya sebagai perempuan kuat. Tapi hanya segelintir yang tahu, bahwa kekuatannya telah dicabik oleh romantisme poligami yang tak pernah adil sejak awal.


Catatan akhir:

Poligami bukan sekadar sunnah yang bisa diambil begitu saja. Di baliknya ada luka, ada kecemburuan, ada kegagalan yang harus diantisipasi dengan kedewasaan yang luar biasa. Ini bukan kampanye anti-poligami, tapi pengingat: bahwa keadilan bukan sekadar kata. Dan tidak semua perempuan kuat bisa bertahan hanya karena katanya “pahala besar di balik sabar”.

Untuk Aisyah dan mereka yang pernah berdiri di posisinya, semoga Allah memberimu tempat terbaik.


Photo by David Mullins on Unsplash