Posted in

Seragam yang Tak Sama

Seragam yang Tak Sama
Seragam yang Tak Sama

Anton menghela napas panjang sambil menatap hujan yang turun di luar jendela. Di dalam hati, ia tahu hari itu harusnya jadi hari bahagia. Adik kandungnya akan menikah — sebuah momen yang mestinya jadi ajang kumpul keluarga, bercanda, dan saling menguatkan.

Tapi sejak pagi, ada sesuatu yang terasa berbeda. Semua keluarga sudah sibuk mempersiapkan diri dengan seragam yang senada. Dari sepupu, paman, bibi, bahkan keluarga jauh — semua punya seragam khusus. Semua, kecuali Anton, istrinya Wimara, dan ketiga anak mereka.

Anton sempat memberanikan diri bertanya, “Kenapa kita nggak dikasih seragam?”
Jawabannya datang dengan enteng, nyaris seperti candaan, tapi justru menusuk.
“Emang mampu bayar ongkos jahitnya?”

Anton hanya terdiam. Wajahnya menegang, tapi ia tidak berkata apa-apa lagi. Wimara bisa melihat jelas rasa kecewa itu. Ia mengenal betul suaminya — dulu, sebelum badai pandemi meruntuhkan usahanya, Anton selalu jadi tumpuan. Siapa pun yang kesusahan, larinya ke Anton. Ia entengan, selalu siap membantu.

Tapi sekarang, ketika Anton sedang di titik nol, rasanya dunia ikut menjauh.

Wimara menatap suaminya, lalu tersenyum tipis. Ia tahu ia harus tetap kuat. Kalau ia terlihat rapuh, Anton akan makin merasa gagal. Maka diam-diam, ia mencari cara.

Ia menelepon adiknya, meminta tolong dikirimi kebaya lama yang dulu dipakai waktu perpisahan sekolah. Masih bagus, hanya dipakai sekali. Untuk Anton dan anak-anak, Wimara membeli baju senada dari marketplace — murah, tapi masih layak dipakai. Meskipun warnanya berbeda dengan seragam keluarga, setidaknya mereka tetap terlihat pantas.

Hari itu tiba. Semua keluarga berangkat bersama, naik mobil sewaan. Mereka tertawa, bersenda gurau, make-up bareng. Sementara Wimara, Anton, dan anak-anak hanya berboncengan motor. Hujan gerimis menemani perjalanan. Anak-anak masih kecil, basah sebagian, dan Wimara duduk di belakang sambil menggenggam erat jaket Anton.

See also  Amplop untuk Pernikahan Adik Tiri

Di sepanjang jalan, hatinya terasa berat. Ada rasa malu, iri, juga sedih. Tapi ia menahan semuanya. Ia tidak boleh menangis. Tidak di depan Anton. Ia tahu, kalau ia terlihat lemah, suaminya akan makin merasa bersalah.

Sesampainya di rumah calon pengantin, mereka ikut bergabung. Senyum dipaksakan, tawa dipaksakan, tapi di dalam hati Wimara berbisik,
“Suatu hari, keadaan akan berubah.”

Bertahun-tahun kemudian, kenangan itu masih melekat. Rasa perihnya memang sudah dimaafkan, tapi ia tidak bisa menghapusnya begitu saja. Itu jadi pengingat bahwa pernah ada masa di mana keluarganya dipandang rendah hanya karena keadaan.

Wimara belajar satu hal penting: jika suatu hari ia melihat orang lain berada di posisi yang sama, ia tidak akan memperlakukan mereka seperti dulu keluarganya diperlakukan. Karena ia percaya, yang ada di bawah hari ini, bisa saja suatu saat diangkat Allah ke tempat yang jauh lebih tinggi.

Dan ketika hari itu tiba, ia ingin berdiri bukan sebagai orang yang pernah membalas, tapi sebagai orang yang mengerti rasa sakit itu — dan memilih untuk merangkul, bukan mengucilkan.


Photo by Julia Fiander on Unsplash