Posted in

Tidak Sudi!

Tidak sudi!
Tidak sudi!

Dua puluh lima tahun lalu, keluarga kecil Tante Ratna runtuh seketika. Suaminya, Arman, pergi begitu saja demi seorang wanita pemandu lagu yang membuatnya mabuk cinta. Tante Ratna ditinggalkan tanpa nafkah, tanpa rumah, tanpa apa pun. Harta gono-gini pun tak sempat ia genggam. Yang tersisa hanya luka, air mata, dan dua anak yang kala itu masih berumur sepuluh dan lima belas tahun.

Beruntung, ada Surya — kakak lelaki Ratna sekaligus ayahku. Dialah yang menopang hidup adiknya, membiayai sekolah kedua keponakannya hingga lulus, dan memastikan mereka bisa berdiri tegak meski dunia pernah begitu kejam.

Tahun-tahun berlalu. Tante Ratna akhirnya meninggal lebih dulu, sepuluh tahun yang lalu. Kedua anaknya tumbuh menjadi pribadi tangguh, sukses, bahkan kini hidup berkecukupan.

Lalu kabar itu datang: Arman, yang dulu meninggalkan mereka demi wanita lain, kini sakit-sakitan. Selingkuhannya sudah meninggal, anak-anak dari hasil perselingkuhan tak peduli padanya. Ia sendirian. Dan dalam keputusasaan, ia mencari kembali anak-anak dari darah pertamanya.

“Rawatlah ayah kalian,” begitu pintanya.

Jawaban kedua sepupuku singkat, dingin, tanpa celah kompromi:
“NGGAK SUDI!”

Orang-orang di sekitar mencibir, menuding mereka durhaka. Tapi siapa yang benar-benar mengerti luka yang diwariskan dua puluh lima tahun lalu? Luka yang membuat mereka kehilangan kasih sayang seorang ibu, kehilangan rasa aman, dan harus tumbuh bersama rasa ditinggalkan.

Bahkan ketika Arman datang ke rumah ayahku untuk meminta bantuan jadi jembatan silaturahmi, ayahku yang terkenal sabar itu langsung naik pitam. Ia mengusir Arman dengan sapu taman.
“Pergi kau! Jangan pernah injakkan kaki di sini lagi!”

Itu mungkin satu-satunya kali aku melihat ayahku marah begitu rupa. Dan jujur saja, aku mengerti alasannya. Bukan hanya Ratna yang disakiti, tapi juga keluarga besar yang harus ikut menanggung luka dan beban akibat pengkhianatan Arman.

See also  When the Side Chick Slid Into My DMs

Kini, orang boleh saja bilang sepupuku durhaka. Tapi bagi mereka, menjaga martabat ibu yang sudah lama tiada jauh lebih penting daripada mengobati rasa iba pada seorang ayah yang dulu tak pernah ada.

Kadang, karma tak perlu dicari. Ia datang sendiri, tepat waktu.


Photo by Jon Tyson on Unsplash