Iya iya, ini judulnya memang dimirip-miripin dengan Tetangga Masa Gitu? Tapi ini bukan mau cerita tentang tetangga.
Bukan juga mau cerita tentang tetangga yang dagang buah. Bukan.
Ini pure mau cerita tentang dua orang yang sama-sama dagang buah, namun beda integritasnya.
Jadi sejak beberapa minggu terakhir, kami di Palembang bisa puas makan durian, cempedak, dan duku karena waktu panen sudah tiba.
Yang dagang juga banyak dan harganya sangat terjangkau.
Buah cempedak adalah salah satu buah yang disukai oleh keluarga kami. Bahkan menurut Abang (10 yo) buah cempedak jauh jauh jauh lebih enak daripada buah durian.
Ya jelas aja cempedak lebih enak. Boro-boro makan buahnya; wong kalau ada yang makan durian, Abang buru-buru menjauh karena ga tahan sama baunya. Ckck rugi banget deh, Bang.
Ngobrolin soal cempedak, jadi kemarin saya lagi nyetir sendirian dan lewat di salah satu pasar tradisional di Palembang.
Saya excited melihat banyak yang menjual cempedak, terus jadi pingin beli, deh.
Saya parkir di depan pasar, lalu celingak celinguk sebentar nentuin mau beli di pedagang yang mana.
Akhirnya saya putuskan untuk beli di kakak-kakak yang jualan di lokasi X. Si kakak ini mungkin umurnya sekitar 40 an awal. Jadi masih terbilang muda.
“Berapo cempedak, kak?” tanya saya.
“Yang ini 15, yang itu 10, yang itu 2 ikok 25 ribu.” sahut sang kakak sambil menunjuk cempedak yang dikelompokkan berdasarkan ukuran.
“Aku nak ambek 3 yang ini” saya menunjuk cempedak dengan harga 15 ribu satu.
“Oke.” katanya cepat.
Tapi saya merasa ada yang aneh.
Biasanya kalau pedagang lain nanya dulu kan ya, mau kita pilih sendiri atau dipilihin buahnya. Nah si kakak ini langsung sigap aja gitu, tau-tau sudah mengikat 3 buah cempedak.
Saya heran.
“Bagus galo dak ini kak?” tanya saya curiga. Meskipun memilih cempedak terkadang tricky, tapi sekilas mata rasanya kita bisa tahu mana yang bagus mana yang tidak dari tampilan kulit luarnya.
“Bagus dek, cubo cium nah, wangi.” ujarnya.
Tapi saya wanita yang tak bisa abai dengan alarm insting yang berbunyi. Termasuk untuk hal-hal yang receh macam milih cempedak gini, hehe.
Melihat dua cempedak tampak mencurigakan, saya bilang ke si Kakak penjual “Aku nak tuker bae yang duo itu.”
Si Kakak dengan gesture ragu-ragu akhirnya mau menukar yang satu, tapi ga mau menukar yang satu laginya. Saya berfikir : Kenapa?
“Kak, kalau kamu dak galak nuker yang ini, cubo belahke dulu bae.” pinta saya.
“Dak pacak dek, gek dak pacak dijual lagi….” kata si kakak.
“Yo sudah kak, kalu cem itu aku ambek duo be.” nada saya meninggi.
Akhirnya si kakak mengalah lalu membuka cempedak yang saya maksud. Gerakan si kakak masih ragu-ragu. Dia membelah cempedak dengan sangat hati-hati, hingga…
…hanya sampai bagian tengahnya.
Lalu dia bilang
“Nah jingoklah, bagus kan?”
Saya melihat sekilas daging cempedak berwarna kuning muda terlihat segar. Saya lalu berkata “Iyolah” lalu membayar si Kakak.
Saya pulang ke rumah membawa 3 cempedak : 1 cempedak yang saya pikir memang bagus, 1 cempedak yang saya minta tukar (dan memang ditukar), 1 cempedak yang sudah terbelah setengah.
Sampai di rumah, saya cepat-cepat membawa cempedak ke dapur. Lalu saya belah lagi cempedak yang sudah terbelah hingga sayatannya mencapai ke ujung. Curiga banget soalnya saya hahaha
Dan benar saja, itu cempedak setengah sisanya adalah busuk.
Ya ampun.
Terpikir satu cempedak yang tadi ngotot saya minta tukar dan si kakak menukar dengan enggan, apakah mungkin busuk juga?
Ya ampun si Kakak. Segitu usahanya mau jual cempedak busuk? saya sangat berprasangka buruk padamu, kak! Ckckck.
Sebenarnya soal membeli buah, biasanya saya membeli di seorang ibu penjual buah yang lokasinya tidak jauh dari rumah saya.
Sang Ibu berjualan di kios kecil di pinggir jalan. Ketika saya membeli duku, rambutan, mangga dll, saya akan bertanya padanya “Ini manis, bu?”
“Kalau yang aku cicip manis, dek. Terus idak busuk. Aku dak galak ngambek buah yang busuk.” katanya.
“Nian apo buk?” goda saya.
“Nian dek. Karena kalau kito jualan ni, kalau kito bohong, gek ditandoi wong. Itu na, jangan beli di situ, dio jual buah busuk.” jelas sang ibu dengan wajah sungguh-sungguh.
Saya tertawa.
Sejak itu, saya menjadi pelanggan sang ibu. Dan setiap beli buah di sana, memang tidak pernah mengecewakan. Setidaknya sang ibu tidak cawe-cawe menjual buah yang busuk kepada pelanggan yang (terlihat) lugu.
Hanya yang saya sayangkan di kala musim durian dan cempedak, si Ibu malah memilih jualan manggis dan duku. Duh.
Dari sini, saya membandingkan. Penjual yang satu, (tampaknya) berusaha sekuat tenaga menjual buah yang tak bagus.
Penjual yang satu lagi, berusaha sekuat tenaga agar dirinya tidak ‘ditandai’ pelanggan – dengan berkata jujur dan hanya menjual buah yang bagus.
Dan Ibu itu sepenuhnya benar.
Karena di benak, saya memang mulai menandai si kakak penjual cempedak. Saya tak akan lagi-lagi membeli dagangan buahnya di lain hari.
Ketika suami sampai di rumah lalu melihat cempedak yang terbuang karena busuk, beliau bertanya “Bun beli dimana?”
“Di penjual di pasar anu itu lho, yang di lokasi X…” jawab saya masih menyimpan jengkel.
Suami sejenak berfikir, lalu terkesiap.
“Lha bun inget ga yang tempo hari Bie beli cempedak yang busuk semuanya? itu Bie beli di situ juga…”
Ya ampun ternyata, hati saya mbatin. Lalu keluarlah ucapan yang sedari tadi saya tahan “DAGANG BUAH MASA GITU SIH YA???”
9 Komentar. Leave new
dengar bibik2 ngomong pelembang beraso lagi di pasar palimo, apo pasar 16 wkwkwk….
btw, aku pertama nyicip cempedak di palembang, dikasih temen yg dikasih sm ibu kosnya, suka….
apalagi kalo dijadiin gorengan
Tadinya mau aku translate, tapi dasar aku pemalas. hahahaha
gak perlu ditranslate kok, bhs jambi, palembang ini masih lumayan dimengerti kok mba ?
Aku belum pernah cicip cempedak goreng. Emang enak ya Pak? ☺️
enak mba 🙂 digoreng pake gendum tipis…
Susah emang kalau orang masih berfikir cara “lama” di mana rela mengecewakan pembeli dengan ambil keuntungan sekejap. Padahal untuk pedagang, trust itu no.1. Rugi gakpapa asal pembeli gak kecewa karena jualan ini bisnis jangka panjang.
Andaikan semua pedagang punya pikiran begitu. Sayangnya enggak, ya. ?
kalau saya pertama nyobain campedak sewaktu di bengkulu hihi, untungnya manis2
Kayagnya memang sebagian besar manis, ya. Kalau ga beruntung paling hambar. Tapi Cempedak salah satu buah paling enak menurutku hehe