Memilih itu susah-susah gampang, dan selalu beriringan dengan konsekuensi. Ketika kita siap memilih, kita juga harus siap dengan segala akibat yang menyertainya.
Saya teringat seorang teman pria yang sangat berani dalam membuat pilihan.
Beberapa tahun yang lalu, ia berdiri di depan pintu kamar kos-an saya dengan wajah yang tidak karuan; kusut masai.
“Ada apa?” tanya saya heran.
Karena belum seminggu yang lalu saya menerima undangan pernikahannya tergeletak di meja kerja saya. Pernikahan yang akan diadakan satu minggu ke depan.
Lalu ia meminta maaf; mungkin merasa tak enak berdiri di depan pintu kamar kos-kosan wanita tanpa pemberitahuan lebih dulu, pikir saya.
Tapi ternyata maafnya bukanlah untuk itu.
Ia bertanya, “Maaf Nina, kamu sudah terima undangan saya?”
Sudah, jawab saya.
Lalu ia bilang “Maaf, tapi pernikahannya batal, ga jadi…”
…..
…..
…..
Hening yang lama.
Otak saya berhenti. Saya terkejut tapi tidak tau harus bilang apa. Beribu tanya KENAPA KENAPA KENAPA menari di benak saya, namun saya sadar bahwa apapun sebabnya itu bukanlah ranah saya untuk mengetahuinya.
Pun dia juga tidak berusaha menjelaskan lebih jauh sebabnya.
The next second , all I saw was hidden pain and hurt from his face.
Wajar.
Waktunya tinggal seminggu lagi.
Undangannya sudah disebar.
Semuanya sudah dipesan.
Karena dia-mungkin takut orang-orang tidak percaya, lalu memutuskan untuk mendatangi satu persatu teman yang sekiranya diundang dan memberitahukan pembatalan pernikahannya.
Ini juga merupakan salah satu cara untuk meyakinkan teman-teman bahwa keputusan ini sangat serius; dan bukan sebuah lelucon tidak lucu di tengah siang hari bolong.
Waktu itu saya tidak bisa membayangkan konsekuensinya. Saya tidak bisa membayangkan betapa besar beban dan malu yang harus ditanggungnya.
Namun saya salut. Meskipun di saat-saat terakhir, ia masih bisa memutuskan pilihan mana yang terbaik untuknya. Meneruskan pernikahan? atau tidak meneruskan pernikahan?
Dan tidak meneruskan pernikahan adalah keputusannya.
Tidak apa-apa.
Beberapa orang dengan hati kerdil memang menggosipkannya di belakang. Mengata-ngatai ia gila, nggak beres atau semacamnya.
Tapi seberapa kusut masai, orang mencela, semua berantakan dan dia harus menanggung malu, toh setelah beberapa waktu ia mengaku lega dengan pembatalan itu.
Tahun berlalu.
Saat ini, ia telah menikah dengan wanita yang lain, dikaruniai dua anak, ia tak langsing lagi, dan perutnya membuncit – layaknya seorang pria menikah yang bahagia. 🙂
Saya ingat Pak Mario Teguh yang pernah mengatakan
“do what’s good for you; or you are not good for anyone”
Kurang lebih saya mengartikannya begini.
Bahwa jika kita ingin membahagiakan orang lain, entah itu orang tua atau suami atau keluarga, kita harus membahagiakan diri kita sendiri dahulu. Atau bila memungkinkan pilihlah win-win solution; but NEVER zero sum game.
Don’t be such a naif person yang mau berkorban tanpa pikir panjang.
Kalau orang tua saya bahagia maka saya bahagia, kalau suami saya bahagia maka saya bahagia, kalau kucing saya bahagia maka saya bahagia.. hey you are a person! Your happiness do not depend on others!
So, kewajiban yang pertama itu adalah membahagiakan diri kita sendiri dahulu, memberi dampak positif terhadap diri sendiri dulu, baru dampak positif ini dapat menyebar ke orang lain.
Silahkan kalau mau dibilang egois.
Namun jika kita memilih hanya berdasarkan apa yang orang lain mau, atau berkorban demi sesuatu yang lain namun kita tidak bahagia, dampak negatifnya juga menyebar ke orang lain, lho.
Lalu bagaimana kita bisa yakin bahwa pilihan kita bisa mendatangkan akibat yang baik?
Mintalah bantuan Allah melalui Istikharah; agar hati dicondongkan pada satu pilihan yang baik. Bukankah Ia Maha pembolak-balik hati?
Kenapa membolak-balik hati dan bukan logika?
Mungkin karena logika acap kali terlalu banyak pertimbangan. Baik-buruk; untung-rugi; enak-pahit. Saking banyaknya terkadang ambigu tercipta; sehingga antara mana pilihan yang (berakibat) baik atau mana pilihan yang (berakibat) buruk menjadi blur dan tak jelas lagi.
Yang mengerikan bahkan memilih pilihan yang tampaknya baik, namun konsekuensinya buruk.
Namun HATI HANYA mengambil pilihan yang membuat pemiliknya bahagia.
Kalau orang bilang tanyalah pada hatimu karena ia tidak akan bohong, saya yakin bahwa inilah maksudnya.
Bukan hanya soal pernikahan, bukan hanya soal karir atau pekerjaan; tapi untuk semua hal yang berkaitan dengan pilihan.
Hear This,
Hati-hati dalam membuat pilihan; karena hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dalam pilihan yang salah.
Saya tidak tahu kunci kesuksesan;
namun kunci kegagalan adalah selalu berusaha untuk menyenangkan SEMUA orang.
*Sebuah renungan*
8 Komentar. Leave new
Memilih itu sulit memang.
Tapi setelah kita memilih dan ternyata pilihan itu membuat kita jauh lebih baik, kita sama sekali tdk akan menyesal telah memilih keputusan tersebut. Justru malah berasa legaaa.
Pengalaman pribadi ya Dee, hihi 🙂
?????
Duh… ngena banget tulisan ini, meskipun padahal saya pernah membuat tulisan yang setema. tapi tetep, dalem banget rasanya.
Wah terima kasih Mas Parmanto. Tulisan Mas Parmanto juga sering bikin saya #jleb 😀
Nin, tulisannya bagus. Mengingatkan akan pengalamanku sendiri yang nyaris serupa. Pernah diposisi temanmu itu. Sebulan sebelum aku ketemu suami, aku membatalkan pernikahan. Jalan bertemu jodoh yang Insya Allah sudah Allah tetapkan buatku memang luar biasa penuh misteri. Bahkan harus melalui 2 rencana pernikahan yg gagal. Kapan2 ah kutulis diblog (kalau pengen haha).
Terima kasih Mbak Den *blushing blushing* Alhamdulillah sekarang Mbak pasti lega banget ya karena sudah bisa kuat disaat-saat begitu, salut sama dirimu Mbak 🙂 boleh kapan2 sharing di blog Mbak, bila berkenan, bisa jadi pencerahan juga buat yg sedang menghadapi masalah serupa 🙂
🙂