Tulisan berikut aman bahkan bila dibaca sebelum menonton filmnya.
Jadi untuk yang benci spoiler, kali ini kita berdamai ya 🙂
*kibar bendera putih
The Plot
Pada suatu hari di musim dingin tahun 1934, seorang pebisnis naik ke kereta Orient Express yang berangkat dari Istanbul Turki, dengan langkah terburu-buru.
Ia punya alasan untuk itu.
Ia merasa tak aman, selalu merasa ada bahaya yang mengintai. Ia telah menerima sejumlah surat yang jelas-jelas berisikan ancaman pada dirinya. Ia merasa perlu pergi, lalu menumpang kereta Orient Express untuk memiliki kehidupan yang baru – atau untuk sekedar melarikan diri.
Adalah seorang pria paruh baya dengan kumis nyala dan kepala berbentuk telur berkebangsaan Belgia bernama Hercule Poirot yang tidak semestinya berada di kereta itu. Namun apa daya, reputasinya yang termashur sebagai Detektif terbaik di dunia, membuat niatnya untuk berlibur sejenak di Turki menguap begitu saja. Seorang pejabat Scotland Yard memintanya kembali ke London secepatnya untuk memecahkan suatu kasus – yang membuatnya terpaksa mengucapkan selamat tinggal kepada Negara Hagia Sophia.
Ah, tidakkah itu menyebalkan?
Namun ternyata hal yang menyebalkan bagi Poirot tidak berhenti di situ saja. Di suatu malam ketika ia berada di Orient Express, terjadi suatu peristiwa yang membuat sel abu-abunya tak dapat beristirahat. Telah terjadi sebuah pembunuhan yang rumit dan membuat Poirot kewalahan menelusuri jejak pelaku sebenarnya. Ia sudah hampir menyerah saja, ketika sahabatnya yang merupakan direktur Orient Express, Bouc, memohon padanya,
“Demi Orient Express dan nama baik kami. Anda harus mengungkap siapa pembunuhnya sebelum kereta ini sampai di tujuannya!” ujar Bouc, panik.
Total ada 13 orang yang menumpangi gerbong dimana pembunuhan terjadi. Lalu bagaimana jika semua penumpang tampak mencurigakan? Apakah perjalanan tetap harus diteruskan, meski ada pembunuh di antara mereka?
“I see evil on this train. A passenger has died”
Ucap Poirot ketika ia memutuskan memulai penyelidikan, untuk mencari keadilan – betapapun pahitnya keadilan itu.
Dari sini, sebenarnya alur cerita dan spoiler siapa pembunuhnya, sudah dibocorkan sendiri oleh Penulisnya dari tahun 1934 – ketika buku ini pertama kali diterbitkan. Dan saya memang sudah pernah membaca bukunya.
But lucky me, untuk Murder On The Orient Express saya ndak ingat secara detil bagaimana jalan ceritanya dan siapa pembunuhnya. Dan saya juga ndak coba-coba inget juga sih, biar pas nonton tetap merasa deg-degan dan bisa ikut berfikir siapa pelaku sebenarnya.
Sudah mahfum bahwa pada setiap kasus Poirot, pembaca (dan penonton) tidak selalu dapat melihat suatu peristiwa pembunuhan secara terang benderang – melainkan harus mendalami kasus tersebut melalui berbagai sisi psikologis tergelap yang dimiliki oleh tiap-tiap manusia.
Jadi buka mata, telinga dan waspada terhadap detil, karena siapa tahu teman-teman bisa menebak siapa pembunuhnya 🙂
The Cast
Dari segi cast, MOTOE memang sangat menarik. Ini karena dari 13 aktor dan aktris utama, sebagian besar merupakan ‘kelas berat’. Dimana aktor dan aktris nya didominasi oleh pemenang dan nominator oscar, yaitu :
- Kenneth Branagh as Hercule Poirot
- Penélope Cruz as Pilar Estravados – seorang wanita dengan kesan religius sekaligus menderita.
- Willem Dafoe as Gerhard Hardman – seorang Professor yang terkenal
- Judi Dench as Princess Dragomiroff – seorang wanita ningrat
- Johnny Depp as Samuel Ratchett – seorang pebisnis
- Josh Gad as Hector MacQueen – Sekretaris Ratchett
- Derek Jacobi as Edward Henry Masterman – pelayan Ratchett
- Leslie Odom Jr. as Dr. Arbuthnot – seorang dokter
- Michelle Pfeiffer as Caroline Hubbard – seorang wanita yang tampaknya kesepian dan senang menggoda pria
- Daisy Ridley as Mary Debenham – seorang guru Geografi
- Tom Bateman as Bouc – Direktur Orient Express yang memohon kepada Poirot untuk memecahkan kasus pembunuhan
- Olivia Colman as Hildegarde Schmidt – Sekretaris Dragomiroff
- Lucy Boynton as Countess Helena Andrenyi
- Marwan Kenzari as Pierre Michel – suami Countess Helena
- Manuel Garcia-Rulfo as Biniamino Marquez – petugas kereta
- Sergei Polunin as Count Rudolph Andrenyi
- Miranda Raison as Sonia Armstrong
Kenneth Branagh sendiri – yang juga menjadi sutradara di film ini – merupakan aktor kawakan Inggris yang pernah bermain sebagai komandan prajurit di Dunkirk (2017) dan pernah mendapatkan nominasi Oscar dalam film Henry V. Tapi pasti teman-teman setuju bahwa penampilan beliau di MOTOE benar-benar bikin pangling sebagai Poirot. Apakah karena pengaruh kumisnya? bisa jadi yes 🙂
Di film ini, saya merasakan semua aktor dan aktris bermain dengan standarnya, seperti Penelope Cruz (Pilar Estravados) yang memang piawai membawakan peran wanita (yang terlihat) teraniaya, atau Judi Dench yang dengan peran apapun masih terlihat seperti seorang ningrat. Namun Johny Depp – seharusnya – bisa terlihat lebih frustasi terkait perannya.
Tapi setelah dipikir-pikir lagi, bahwa bisa jadi memang akting mereka disetting seperti itu, mengingat sesungguhnya tiap-tiap dari mereka memang memiliki sesuatu yang harus mereka sembunyikan.
Selebihnya, Pak Brannagh cukup apik membangun karakter Poirot dengan sifat, pembawaan serta bahasa Perancis yang cukup detil dan sesuai dengan gambaran Poirot pada bukunya. Hanya satu yang saya perhatikan bahwa seingat saya Poirot sangat bangga dengan kumis hitamnya, namun di film ini kumis Poirot tidak hitam melainkan abu-abu.
Apakah Pak Poirot lupa membawa semir kumisnya ketika melakukan perjalanan dari Yerusalem ke Turki?
The Cinematography
Sinematografi MOTOE cukup memanjakan mata dengan dominasi background situasi Eropa pasca Perang Dunia ke I, dan pegunungan bersalju.
Scene favorit saya yang pertama adalah ketika Poirot dan Bouc melihat Tempat Kejadian Perkara, dimana kamera film mengambil gambar dari atas, sehingga penonton dapat melihat dengan jelas seperti apa situasi TKP, posisi mayat ketika ditemukan, barang bukti yang berserakan, dan detil-detil lainnya.
Scene favorit yang kedua adalah pemandangan ketika Orient Express berada di rel tepi jurang dan harus berhenti karena terjangan longsor es. Ini cukup bikin deg-degan karena membayangkan jika salju longsor lagi, kereta bisa jatuh sewaktu-waktu.
The Satisfaction
Iya ini.
Setiap penggemar Agatha Christie pasti mengerti rasa kepuasan haqiqi (((haqiqi))) yang kita dapatkan sehabis membaca bukunya. Serumit apapun kasusnya, sesalah apapun tebakan kita, pada akhirnya kita merasa puas karena semua paparan yang diberikan (rasanya) masuk diakal dan kita jadi mengerti dasar alasan mengapa seorang pembunuh melakukan pembunuhan.
Nah, rasa satisfaction ini yang tidak saya rasakan ketika menonton.
Baguskah filmnya? bagus.
Tapi tetap menurut saya terasa kurang detil disana sini dan terlalu sebentar. Padahal kalau membaca buku Agatha Christie, satu kasus saja bisa dibaca berjam-jam. Jika dirasa ada satu hal yang mengganjal, kita bisa membuka lembaran cerita sebelumnya untuk menganalisa ulang apa yang terjadi sebenarnya.
Tapi di film kan tidak.
Imajinasi kita dibatasi oleh layar lebar berdurasi dua jam menikmati suatu kasus yang bahkan aktor dan aktris skala Oscar tetap tidak bisa menandingi bukunya!
Hal ini menjadi wajar bahwa justru ‘detil’ cerita yang menjadikan buku Agatha Christie meledak dimana-mana, dan di film dengan durasi yang terbatas, ‘detil’ menjadi tidak dimungkinkan untuk ditampilkan seluruhnya.
PR besar bagi sutradara di film selanjutnya agar tidak kehilangan terlalu banyak detil yang membuat plot film terasa melompat. Teman-teman setuju? 🙂
So, What’s Next?
Meski sebenarnya sudah banyak buku Agatha Christie yang difilmkan, saya membatin kepada diri sendiri : aduh sis, kemane aje, kok baru heboh pas MOTOE doang?
Karenanya jangan sampai kecolongan.
Pada MOTOE di akhir film ditunjukkan bahwa Poirot akan melanjutkan perjalanan untuk menyelidiki kasus di Sungai Nil. Twentieth Century Fox juga sudah menginformasikan bahwa mereka akan membuat film Death in The Nile (terakhir difilmkan pada tahun 1978) setelah MOTOE, meski belum bisa dipastikan kapan film ini akan dirilis.
Namun demikian,
Ternyata pada 31 Oktober 2017 kemarin juga telah dirilis Film adaptasi Agatha Christie berjudul Crooked House (Di Indonesia judul Bukunya adalah Catatan Josephine) yang diproduksi oleh Sony Pictures. Berikut Trailernya :
Bagi saya, dari sekian banyak buku Agatha, Crooked House menjadi buku yang paling ‘menohok’ dengan ending yang ‘sangat mengenaskan’. Crooked House adalah salah satu kasus pembunuhan Agatha dengan latar belakang cerita paling miris hingga saya ndak bisa lupa pembunuhnya dari saya pertama kali membacanya waktu sma, hingga sekarang.
Karena jika seorang manusia sudah merasa terdesak atau merasa hati sudah terlalu sakit, siapapun bisa menjadi seorang pembunuh, bukan?
Meski film ini sudah dirilis 31 Oktober 2017 yang lalu di Italy, dan RT menuliskan film ini masuk rilis di 2018, namun situs metacritic.com menyebutkan tanggal rilis film ini secara world wide adalah 17 Desember 2017 – agak membingungkan memang – namun belum bisa dipastikan apakah film ini bisa hadir di bioskop Indonesia.
Namun tetap dengan harapan : semoga Crooked House juga bisa tayang di Indonesia ya! Aamiin! 😀
Verdict
Murder On The Orient Express adalah salah satu film thriller drama – jadi bagi yang lebih suka action atau superhero siap-siap merasa sedikit bosan karena filmnya penuh dengan obrolan-obrolan tanpa riak yang ‘menggemparkan’. Sudah tipikal cerita Agatha bahwa Poirot memecahkan kasus dengan sel abu-abunya (pikirannya), jadi ya, di film inipun penonton diajak menganalisa siapa pembunuhnya melalui berbagai detil peristiwa dan percakapan-percakapan antar peran di dalamnya. Meski pada beberapa plot film ini terkesan melompat dan sutradara sepertinya bingung bagaimana menyelaraskan banyak detil dari buku ke film, namun film ini tetap fun untuk ditonton bahkan bagi mereka yang bukan penggemar buku Agatha Christie.
Meski saya yakin bagi sebagian besar penggemar Agatha, menganalisa kasus pembunuhan dari buku, memberikan suatu kepuasan tersendiri yang sulit digantikan oleh filmnya.
Murder On The Orient Express
Based on Novel by Agatha Christie
Cast : Kenneth Branagh as Hercule Poirot, Penélope Cruz as Pilar Estravados, Willem Dafoe as Gerhard Hardman, Judi Dench as Princess Dragomiroff, Johnny Depp as Samuel Ratchett, Josh Gad as Hector MacQueen, Derek Jacobi as Edward Henry Masterman, Leslie Odom Jr. as Dr. Arbuthnot, Michelle Pfeiffer as Caroline Hubbard, Daisy Ridley as Mary Debenham, Tom Bateman as Bouc, Olivia Colman as Hildegarde Schmidt, Lucy Boynton as Countess Helena, Andrenyi Marwan Kenzari as Pierre Michel Manuel, Garcia-Rulfo as Biniamino, Marquez Sergei Polunin as Count Rudolph Andrenyi, Miranda Raison as Sonia Armstrong.
PG : 13
Score : 58% Rotten Tomatoes, 6.8/10 IMDB, 8/10 from me.
12 Komentar. Leave new
aku sempat ketiduran pas nonton ini, mungkin karena nonton siang dan agak capek.. sayang di film kurang jelasin 13 tokoh satu-satu pas naik kereta, alurnya jadi cepat..
endingnya.. xxxx itulah yang membunuh korban :))
aku dak nolak kalo diajak nonton film ini lagi.
SPOILERRRR!!!! wakakaka Aku berusaha keras di sepanjang tulisan tidak membocorkan apapun dirimu malah ngebocorin di komen. aelah 😀
Saran aku, daripada nonton lagi mending baca bukunya Koh. Lebih detil dan memuaskan 🙂
keren mah kalo AC yg nulis hahaha
film aja susah menandinginya ?
hehehe, belum nonton jadi belum tau ceritanya, nunggu donlotannya aja haha
Dalam dua minggu ke depan biasanya sudah beredar donlotan ‘bebas’nya , hehe
yah betul.. “detail”, ini kunci menikmati novel Agatha Christie yang hilang dari film nya.., menyimak setiap percakapan sambil berupaya mencari petunjuk, mengenali karakter dan sifat setiap tokoh, menduga duga motif, mencurigai alibi masing masing, dll…, tapi memang kenikmatan membaca beda dengan kenikmatan menonton , yah nice try lah.., paling nggak film ini dan kayaknya dilanjutkan dengan judul2 lainnya udah sukses membuat saya bernostalgia membaca lagi novel novel nya..??
Bu Agatha memang hebat banget deh 😀 Kabar baiknya, masih ada dua lagi film dari Agatha Christie yang bisa ditunggu kak : Crooked House dan Death in The Nile. Meski membaca bukunya tetap tak tergantikan tapi nonton filmnya mayan lah, sebagai hiburan hehe 🙂
“Jika dirasa ada satu hal yang mengganjal, kita bisa membuka lembaran cerita sebelumnya untuk menganalisa ulang apa yang terjadi sebenarnya.”
Aku justru merasa begitu. Sejak awal nonton, aku (rasanya) sudah konsentrasi penuh, gak ada istilah ngantuk dsb, tapi ada di beberapa bagian, rasanya aku pingin filmnya bisa diputar balik lagi ke adegan yang aku ingin lihat secara detail. Diantaranya…. eh ntar spoiler haha.
Walaupun dibilang tanpa spoiler, aku tetep bersyukur kuat “iman” gak baca tulisan ini sebelum nonton haha, emang bener gak ada spoiler (kecuali di komen Deddy yang untungnya udah dihide hwhwhw), tapi ada gambaran-gambaran tokohnya yang di sini dijelaskan lebih rinci, dan pas aku tahu saat nontonnya itu jadi efek kejutan yang beda (walau gak yang gimana banget juga)
Baru sekarang aku ngerasain pingin baca bukunya walau filmnya udah aku tonton. Biasanya aku gak akan baca lagi buku yang sudah aku tonton terlebih dahulu filmnya.
Akhirnya Om Ndut sudah nonton juga, yihaa! *tepuk tangan :D. Dibandingkan film, skala satisfactionnya memang jauuuuuh sekali. Ibarat film dapet skor 2 dan buku dapet skor 9 (lebay amat, tapi beneran ini serius hahaha) Kalau enggak, Agatha ga mungkin dinobatkan sebagai salah satu Novelis Wanita terbaik yang bukunya diterjemahkan kedalam 103 bahasa (nyontek dari wikipedia). Aku dukung langkah omndut untuk membaca bukunya, ketagihan tidak dijamin, ehe.
bener banget mbak hahaha 🙂 aku nungguin jumanji sama ayat2 cinta aja deh, baru entar turun gunung ke bioskop ….
[…] Jimmy Bulger, tidak perlu sel abu-abu Poirot untuk mengungkap […]