Pengalaman membangun rumah. Dulu setelah menikah, kami sempat tinggal di rumah orang tua suami selama setahun sebelum akhirnya membeli rumah yang sekarang.
Tadinya, rumah ini adalah rumah teman kami. Sebuah rumah di komplek TNI. Rumah ini dijual karena sang teman dan keluarganya pindah ke Jawa. Alhamdulillah pada akhirnya rumah ini berjodoh dengan kami.
Meskipun rumahnya rumah lama, namun kami senang karena ukuran tanahnya lumayan lega, yaitu 300m².
Yang paling saya sukai dari rumah ini adalah halaman depan yang hijau dan rindang oleh tanaman dan pepohonan. Ada dua kolam ikan yang terletak di halaman depan dan di belakang, yang kami isi dengan Koi.
Next to it ada teras depan rumah yang sangat lega sebagai tempat duduk-duduk.
Tapi seperti halnya rumah lama, rumah ini juga memiliki banyak kekurangan. Yang paling crucial adalah posisi ruangan di dalam rumah yang tidak teratur.
Atap rumah juga masih menggunakan seng yang langganan bocor sana-sini ketika hari hujan.
Plafondnya rendah membuat hawa rumah terasa panas. Kalau duduk di ruang tamu tanpa kipas angin rasanya kayag lagi direbus. Karena itulah akhirnya dua kamar tidur kami menggunakan AC – yang salah satunya bisa hidup belasan jam sehari.
Belum lagi lampu kamar, lampu ruang tengah dan lampu dapur yang selalu hidup karena plafond yang rendah membuat rumah gelap jika lampu dimatikan bahkan di siang hari.
So yes, rumah kami memang terlihat rindang di luar. Namun di dalam, sangat boros energi, tidak ramah lingkungan, dan boros di tagihan.
Rumah kami memiliki tiga kamar; satu kamar utama, satu kamar anak, dan satu kamar ART. Keterbatasan jumlah kamar tadinya no problemo secara Abang masih sendiri. Tapi setelah Kakak lahir, lalu Adek lahir, kami membatin bahwa kami perlu banget tambahan kamar untuk anak-anak.
Karena itulah keinginan ini lalu mengemuka, mendesak-desak di kepala : apakah kita harus renovasi rumah ini, atau beli baru saja?
Renovasi Rumah atau beli baru?
Renovasi jadi option yang pertama karena alasan malas pindah lokasi. Kami merasa lokasi rumah yang sekarang sudah nyaman banget, kemana-mana terasa dekat.
Renovasi juga tampaknya jadi solusi praktis dan ekonomis yang bisa kami adopsi.
Tapi yang tidak kami sadari adalah pilihan ini ternyata a little bit tricky : tampaknya mudah secara teori, namun ribet pada prakteknya.
Saya bisa bilang begini karena kami sudah mencoba untuk melakukan renovasi dua kamar mandi dan dapur beberapa tahun yang lalu. Dan ternyata uwooow, uang yang habis tidak sedikit dengan hasil kerja tukang yang sangat mengecewakan. Jadilah kami patah hati, lalu kapok nerusin renovasi.
Dari sini juga kami menyadari bahwa memiliki tukang yang bagus untuk rumah itu ternyata penting banget lho, teman². Karena renovasi rumah uangnya kan tidak sedikit. Maka ketika hasilnya jelek, rasanya kog sakit, ya? ahahah
Baca juga : Pengalaman Pertama Naik LRT di Palembang
Hunting Rumah Baru
Sejak kejadian renovasi yang mengecewakan itu, kami berubah haluan. Alih² renovasi, kami memutuskan lebih condong untuk membeli rumah baru.
Tapi lagi², cari² rumah baru itu ternyata ga segampang cari jodoh, lho.
Hahaha ini beneran. Karena kami teman sebelum menikah jadi kayagnya jodoh tu sebenernya dekat, kitanya aja yang suka drama nyarinya kemana-mana, hahaha.
Lah kalau rumah baru?
Rumah di komplek kami jelas bukan pilihan karena kebanyakan adalah rumah² lama yg masalahnya sama aja dengan rumah kami yg sekarang.
Akhirnya kami mulai ‘memperluas wawasan’ dengan membidik rumah² di luar komplek yang ternyata harganya plus sama ukuran tanahnya, bikin perut mules tapi bukan mau ke wc.
Ada yg tanahnya sama dengan rumah kami yang sekarang, tapi harganya udah beberapa em.
Ada yang harganya terjangkau, tapi tanahnya kecil banget. Saya mikir anak aja udah tiga. Mau ditarok dimana barang²? Mau ditarok dimana anak²? Di halaman? :p
Makin hari harga rumah makin mahal tapi ukurannya makin kecil
Sekali hari ada rumah yang ukuran tanahnya lumayan, rumahnya layak, harganya masih terjangkau kalau didongkrak dikit pake KPR.
Kekurangannya? lokasinya kejauhan pun sumber macet. Boro² mau tinggal disana. Baru diceritain ke Ibu saya aja beliau langsung berjengit,
“Nanti Ibu sama siapa kesana Nina, kalau jauh begitu?”
Oh, broken-hearted, broken-hearted.
Kami lalu kembali manyun mikirin rumah ketika semua option tampaknya gelap.
Namun di tengah kegelapan asa memiliki rumah yang nyaman dengan kamar cukup yang tampaknya sulit untuk terealisasi, kami lalu mendapatkan terang dari rumah tetangga kami sendiri.
Lho kog bisa? Emang rumah tetangga kenapa?
Jeng jeng jeng!
To be continued…
Ceritanya bakal lanjut di post selanjutnya yaa. Bisa dicari dengan hashtag #BebongkaranRumah
5 Komentar. Leave new
Udah lama gak mampir dimari wkwkw …
Apa kabar mba Nina? aku juga lagi cari² rumah nih tp belum sreg …
btw, ini udah ada kelanjutannya kah?
Halo apa kabar juga Pak? gimana nih situasi disana? semoga aman-aman aja ya Aamiin :). Kabarku baik Alhamdulillah. Iya, cari rumah memang ga mudah ya Pak. Lanjutannya barusan aku post sih. Telat banget, abis gimana dong baru bisa nulis yang bener hahaha
Alhamdulillah kabar baik mba, sehat 🙂
Siap, udah dibaca juga eh..masih ada lanjutannya ya hehe
300m2… Kalau di Jawa udah jadi 3-5 rumah jejer-jejer hahaha… Itu yg kepake utk bangunan seberapa, mbak?
Btw jadi penasaran pingin baca lanjutan ceritanya 😛
[…] Tulisan ini adalah curhat bersambung dari tulisan The story of our house […]