Lean in ditulis oleh COO Facebook, Sheryl Sandberg. Terbagi menjadi 11 bab, Buku ini berukuran 15 x 8 cm, dimensinya lebih besar dan lebih berat daripada Girlboss. Aslinya memiliki 183 halaman – ditambah dengan halaman acknowledgements, notes dan index, total menjadi 243 halaman.
Saya kira perbincangan mengenai gender gap sudah selesai di Amerika sana. Bagaimana tidak, Amerika adalah negara yang paling vokal bila membicarakan hak asasi manusia, kesamarataan gender dan hal-hal serupa. Namun setelah membaca Lean In, saya merasa Amerika malah – sebaliknya.
Gap gender (menurut Sheryl) nyatanya masih terjadi terutama dalam dunia korporasi. Banyak wanita pekerja di Amerika harus menerima kenyataan bahwa mereka dibayar lebih rendah daripada pekerja pria untuk tugas yang sama, dan karir mereka lebih lambat berkembang daripada rekan pria meskipun menunjukkan kinerja yang sama.
Berbeda dengan pria yang menerima stigma positif apabila mereka sukses, wanita malah sebaliknya. Contoh Margaret Thatcher yang dijuluki sebagai ‘Atilla The Hen’. Perdana menteri Israel Golda Meir disebut ‘The Only Man in The Cabinet’ President Richard Nixon menyebut Indira Gandhi sebagai ‘The Old Witch’ dan Angela Merkel disebut sebagai ‘The Iron Frau’.
Seolah selalu ada kompensasi bagi wanita bila mereka sukses. Seolah selalu ada yang dikorbankan bagi seorang wanita bila mereka sukses. Sudah mahfum terdengar kalimat seperti : ‘Apa? ia sukses? pantas ia tidak menikah’ atau ‘apa? ibumu wanita karir? pantas ia tidak pernah mengantarmu ke sekolah’
Hal ini membuat banyak wanita ‘menahan diri’ untuk lebih berprestasi karena mereka menghindari stigma negatif yang akan mereka dapatkan apabila mereka sukses.
Sheryl sangat menyayangkan hal ini dan mengemukakan seharusnya wanita dapat diberikan kesempatan yang sama dengan pria. Penghargaan yang sama, penghasilan yang sama, pengakuan yang sama. Apabila wanita bisa bekerja, mengejar karirnya, sekaligus menjadi Ibu, Sheryl berharap seorang pria juga mau mencuci piring, mengerjakan banyak pekerjaan rumah sekaligus bekerja di kantor.
Karena Sheryl percaya bahwa setiap wanita memiliki kemampuan luar biasa baik sebagai pekerja, professional, wanita karir, istri dan ibu rumah tangga.
Gilak. Berarti serius amat Lean In ya?
Pertamanya sik enggak. Saya mengawali dengan ngakak ketika membaca halaman pertama. Itu ketika Sheryl bercerita tentang teman-temannya di google (iyes, doi juga pernah kerja di google) yang menjulukinya ‘The Project Whales’ ketika mengandung.
Selebihnya buku ini (memang) cenderung serius, disertai dengan nomor di beberapa halaman mengacu ke halaman index – yang menggantikan catatan kaki. Ini sedikit banyak membuat saya merasa seperti membaca skripsi.
Buku ini kental berbau Feminis? pasti.
Namun ada beberapa hal mengenai gender gap yang dikemukakan Sheryl namun tidak saya rasakan :
- Di Indonesia saya rasa semua pegawai starting dengan salary yang sama apabila anda diterima dengan posisi yang sama. Tidak ada perbedaan gender yang mendasarinya dalam hal ini. At least sudah dua kali pindah kantor saya ndak merasakan gap gender dalam hal penghasilan.
- Kesempatan naik jabatan juga sama, tidak ada perbedaan gender yang mendasarinya dalam hal ini. Yang ada hanyalah permintaan untuk menunda/menolak kenaikan jabatan apabila harus dipindahkan ke kota lain.
- Di Indonesia pendidikan juga tidak mengalami gender gap. Wanita bebas untuk sekolah setinggi-tingginya, dan bebas menentukan cabang ilmu apa yang akan mereka ambil. Bahkan jurusan ‘sangar’ seperti teknik mesin atau teknik pertambangan juga ada ceweknya.
- Kesimpulannya, saya tidak merasakan Gender Gap yang berbau diskriminasi di Indonesia! Gender Gap yang saya rasakan adalah Gap yang memang terjadi menurut kodrat. Dan saya tidak merasa keberatan sama sekali ketika seorang pria membukakan pintu bagi saya, atau mempersilahkan saya masuk ke lift duluan, simply becoz I am a woman. Jujur, saya malah merasa tersanjung dengan perlakuan semacam ini, hehe.
Dus apabila setelah menikah seorang wanita memutuskan mengejar karir atau tidak itu kembali ke hak prerogatif masing-masing. Meski menurut saya hidup di masa sekarang sudah memberikan banyak sekali kemudahan untuk seorang wanita. Banyak wanita saat ini yang memilih bekerja dari rumah dan itu sangat mungkin untuk dilakukan.
Tapi menurut saya sangat penting bagi wanita untuk tetap memiliki pendapatannya sendiri karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Itu aja sih.
Kalau menurut kamu gimana? 🙂
Lean In cocok dibaca untuk wanita rentang umur 25 tahun ke atas atau yang sudah menikah. Untuk wanita bekerja, buku ini bisa menjadi masukan yang bagus karena banyak bercerita mengenai tantangan dan solusi praktis untuk seorang wanita bekerja yang sekaligus memiliki keluarga.
So, Sekian tentang Lean In dan sampai jumpa di review buku berikutnya lambai tangan 😀
11 Komentar. Leave new
Sepertinya bagus.cuma klo sy pribadi memang wanita ditakdirkan seperti itu dr pd pria.jd efekny ya stigma negatif 🙂
Tergantung sudut pandang juga ya. Aku tau seorang blogger cowo yang malah suka dengan wanita yang sukses, jadi bagi beliau malah stigmanya positif 😀
Sukak postnya. Jadi penasaran. Nambahain list daftar buku aja deh dirimyu Jeng. Hahaha.
Saya juga baca si Jennifer Lawrence sempet protes keras soal gender gap ini karena lawan mainnya yang cowok di American Hustle dapet bayaran yang lebih gede sementara mereka yang perempuan sama-sama serius beraktingnya dan ended up si JL dapet kompensasi yang bikin bayarannya dia sama dengan aktor cowok dan dia sekarang jadi aktris dengan bayaran paling mahal bahkan ngalahin lead actor di film terbarunya. Kalo gak salah gitu berita yang saya baca. Padahal amrik loh ya.
Lha mas ini aku barusan beli buku satu lagi buat di reviu di blog dong ngahahaha :D. Tapi jujur aku juga agak kaget karena di Amerika sono ternyata masih ada Gender Gap dan kalau orang sekelas Sheryl dan JLaw aja ngerasain apalagi pegawai kroco-kroco macam aku gini? jadi bersyukur banyak-banyak lah yaaaa karena tinggal di Indonesia dan bukan di barat sana meskipun wajah memang agak kebarat-baratan sih sumatera barat maksudnya 😀
Kayaknya bukunya keren, ya. Saya suka baca buku biografi, apalagi yang ditulis dengan menarik. Yang ini awalnya bikin ngakak, ya? Belakangnya serius banget? Tapi dibacanya tetap asyik, kan? TFS. 🙂
Keknya mbak sheryl ini sengaja membuka bukunya dengan cerita santai mengingat topik yang dia tulis di buku ini adalah isu serius nan sensitif. Tapi ini bukan buku biografi mbak, ini buku feminis semi motivasi lah buat wanita2 yg bekerja hehe. Yang paling menarik dari buku ini adalah kita bisa mengetahui apa isi kepala seorang COO wanita, yang berkeluarga 😀 Thanks for reading mbak Nadiah! 🙂
Memang tidak boleh bergantung pada Suami. krn bergantung cukup pada Alloh sahaja, ukhti…. *ditimpuk Girlboss* *penasaran sama Girlboss*
Ah. Setuju 1000% mbak Tyke ?
[…] ga dibahas mengenai perbedaan gender; atau menuntut kesamarataan gender. Buku ini tidak seperti Lean In yang terang-terangan menunjukkan bahwa ia adalah sebuah buku yang didasari isu mengenai feminisme. […]
[…] lalu saya menjumpai Sophia Amoruso, Sheryl Sandberg dan Om Henry Manampiring. Untuk selanjutnya, saya ingin berbincang dengan Malcolm Gladwell – […]
[…] ga dibahas mengenai perbedaan gender; atau menuntut kesamarataan gender. Buku ini tidak seperti Lean In yang terang-terangan menunjukkan bahwa ia adalah sebuah buku yang didasari isu mengenai feminisme. […]